Minggu, 15 Januari 2012

Asal-usul Thoriqoh


       Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia, Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan pengikut. Di antara murid dan pengikut para Sufi terkemuka itu aktif mengikuti pendidikan formal di lembaga-lembaga pendidikan Sufi (ribbat, pesantren). Di antara Sufi yang memiliki banyak murid di antaranya ialah Junaid al-Baghdadi dan Abu Said al-Khayr.
Dalam mengikuti pendidikan formal itu para murid mendapat bimbingan dan pelatihan spiritual untuk mencapai peringkat kerohanian (maqam) tertentu dalam ilmu suluk. Di samping itu beberapa di antara mereka mendapat pengajaran ilmu agama, khususnya fiqih, ilmu kalam, falsafah dan tasawuf.
Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan teori tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwal, keadaan rohani). Di antara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau `isyq (cinta), fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf (tersingkapnya penglihatan hati).

Kata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan kerohanian. Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang muncul disebabkan pelaksanaan syariat agama, karena kata syar (darimana kata syariat berasal) berarti jalan utama, sedang cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat. Termasuk di dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam yang lain.
Para Sufi merujuk Hadis yang menyatakan, “Syariat ialah kata-kataku (aqwali), tarekat ialah perbuatanku (a`mali) dan hakekat (haqiqa) ialah keadaan batinku (ahwali), Ketiganya saling terkait dan tergantung. Kemunculan tarekat Sufi juga sering dirujuk pada Hadis yang menyatakan, “Setiap orang mukmin itu ialah cermin bagi mukmin yang lain” (al-mu`min mir`at al-mu`minin). Mereka, para Sufi, melihat dalam tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka sendiri. Dengan cara demikian ‘cermin kalbu mereka menjadi lebih jernih/terang’. Nampaklah bahwa introspeksi merupakan salah satu cermin paling penting dalam jalan kerohanian Sufi.
Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan Tasawuf, yaitu persaudaraan Sufi yang didasarkan atas Cinta dan saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan Sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi.
Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud (asketiK) yang merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqa) menekankan pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan ithar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam sejarah.
Yang disebut ithar ialah segala amalan dan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan kerabat dan sahabat dekat, termasuk soal-soal yang berhubungan dengan masalah ekonomi, keagamaan, rumah tangga, perkawinan, pendidikan, dan lain sebagainya. Di antara prakteknya yang berkembang menjadi budaya hingga sekarang, ialah melayani kerabat atau tamu dengan penuh kegembiraan dan sebaliknya sang tamu menerima layanan itu dengan penuh kegembiraan pula. Dalam suasana akrab pula terjadi saling tukar informasi dan pikiran, dan sering pula dilanjutkan dengan kerjasama dalam perdagangan, serta rancangan untuk saling menjodohkan anak-anak mereka.

Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi).
Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka. Ribat biasanya adalah sebuah komplek bangunan yang terdiri dari madrasah, masjid, pusat logistik dan tempat kegiatan lain termasuk asrama, dapur umum, klinik dan perpustakaan. Dapur dibuat dalam ukuran besar, begitu pula ruang tamu dan kamar-kamar asrama. Ini menunjukkan bahwa ribat setiap kali dikunjungi banyak orang, selain tempat berkumpulnya banyak orang.
Pada abad ke-13 M ketika Baghdad ditaklukkan tentara Mongol, kanqah serta ribat dan zawiyah berfungsi banyak. Karena itu tidak heran apabila di berbagai tempat organisasi kanqah tidak sama. Ada kanqah yang menerima subsidi khusus dari kerajaan, ada yang memperoleh dana dari sumber swasta yang berbeda-beda, termasuk dari sumbangan para anggota tarekat. Kanqah yang mendapat dana dari anggota sendiri dan mandiri disebut futuh (kesatria), dan mengembangkan etika futuwwa (semangat kesatria).
Salah satu contoh kanqah terkemuka ialah Kanqah Sa`id al-Su`ada yang didirikan pada zaman Bani Mameluk oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi pada tahun 1173 M di Mesir. Dalam kanqah itu hidup tiga ratus darwish, ahli suluk, guru sufi dan pengikut mereka, serta menjalankan banyak aktivitas sosial keagamaan. Organisasi kanqah dipimpin oleh seorang guru yang terkemuka disebut amir majlis.
Peranan
Sebagai bentuk organisasi sufi, tarekat ialah sebuah perkumpulan yang menjalankan kegiatan latihan rohani menggunakan metode tertentu. Biasanya metode itu disusun oleh seorang guru tasawuf yang juga ahli psikologi. Tarekat kadang disebut madzab, ri`aya dan suluk. Dalam tarekat seorang guru sufi (pir) membimbing seorang murid (talib) dalam cara berpikir dan berzikir; merasakan pengalaman keagamaan dan berbuat di jalan agama; serta bagaimana mencapai maqam (peringkat rohani) tertinggi seperti makrifat, fana dan baqa`, serta faqir.
Pada mulanya tarekat berarti metode kontemplasi (muraqabah) dan penyucian diri atau jiwa (tadzkiya al-nafs). Oleh karena semakin banyak orang yang ingin mendapat latihan rohani tersebut, maka tarekat kemudian tumbuh menjadi organisasi yang kompleks. Penerimaan dan pembai`atan murid pun harus melalui ujian tertentu yang cukup berat.

Pada abad ke-10 M tarekat dapat dibedakan dalam dua model:
1. Model Iraq, yang diasaskan oleh Syekh Junaid al-Baghdadi.
2. Model Khurasan, yang diasaskan oleh Bayazid al-Bhistami.
Perbedaan keduanya mula-mula disebabkan karena mengartikan tawakkul berbeda. Tetapi perbedaan yang paling jelas antara keduanya terlihat pada ciri dan penekanan latihan rohaniannya. Tarekat model Khurasan menekankan pada ghalaba (ekstase) dan sukr (kemabukan mistikal). Sedangkan model Iraq menekankan pada sahw (sobriety).
Perbedaan lain: di Arab biasanya para sufi berkumpul di ribat, yang pada mulanya merupakan pos perhentian, rumah penginakan yang dahulunya ialah tangsi tentara. Sedangkan di Khurasan para sufi biasa berkumpul di kanqah atau sebuah pesanggrahan yang didirikan pengikut sufi yang kaya.Pesanggarahan berperanan sebagai rumah pristirahatan dan pertemuan informal.
Tarekat-tarekat sufi yang besar dan memiliki banyak pengikut, yang tersebar di berbagai negeri dan saling berhubungan satu dengan yang lain secara aktif, biasa mendirikan organisasi sosial keagamaan atau organisasi dagang, yang disebut ta`ifa. Organisasi semacam ini pada mulanya tumbuh di Damaskus pada akhir abad ke-13 setelah penaklukan tentara Mongol. Organisasi ini segera tumbuh di berbagai negeri Islam. Di antara tarekat-tarekat besar yang aktif membina afilisasi dengan gilda-gilda yang banyak bermunculan pada abad ke-13 – 16 M di seantero dunia Islam ialah Tarekat Qadiriyah, Tarekat Shadiliyah, Tarekat Sattariyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Sanusiyah, Tarekat Tijaniyah, dan lain sebagainya.
Pada akhir abad ke-13 M, setelah penaklukan bangsa Mongol (Hulagu Khan) atas Baghdad ahli-ahli tasawuf dan tarekat memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam di India dan kepulauan Nusantara. Ini disebabkan hancurnya perlembagaan Islam dan terbunuhnya banyak ulama, cendekiawan, fuqafa, qadi, guru agama, filosof, ilmuwan, dan lain-lain akibat penghancuran kota-kota kaum Muslimin oleh tentara Mongol dan juga akibat Perang Salib yang berkepanjangan sejak abad ke-12 M. Hal ini dapat dimaklumi karena pada umumnya para ulama, cendekiawan, fuqaha, dan lain-lain itu berada di pusat-pusat kota dan sebagian besar bekerja di istana, sehingga ketika istana dan kota dihancurkan mereka pun ikut terbunuh.
Sebaliknya, para sufi pada umumnya adalah orang yang mandiri dan suka mengembara ke berbagai pelosok negeri untuk mencari ilmu atau menyebarkan agama. Mereka memiliki banyak pos-pos perhentian di seantera negeri Islam dan murid-murid yang bertebaran di berbagai tempat. Di antara pengikut mereka tidak sedikit pula para pedagang yang aktif melakukan pelayaran ke berbagai negeri disertai rombongan pemimpin tarekat serta para pengikutnya.
Di tempat tinggal mereka yang baru, para sufi itu aktif mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam, menyeru raja-raja Nusantara memeluk agama Islam, seraya mempelajari sistem kepercayaan masyarakat setempat dan kebudayaannya. Tidak sedikit pula dari mereka mempelopori lahir dan berkembangny tradisi intelektual dan keterpelajaran Islam, termasuk penulisan kitab keagamaan dalam bahasa setempat dan kesusastraan. Bangkitnya kesusastraan Islam di luar sastra Arab, seperti dalam bahasa Persia, Urdu, Turki Usmani, Sindhi, Swahili, Melayu, dan lain-lain dalam kenyataan dimulai dengan munculnya pengarang yang juga ahli tasawuf. Misalnya Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari dalam kesusastraan Melayu.
Tokoh-tokoh mereka yang terkemuka sebagai guru kerohanian tidak hanya menguasai ilmu tasawuf, tetapi juga bidang ilmu agama lain seperti fiqih, hadis, syariah, tafsir al-Qur’an, usuluddin, ilmu kalam, nahu, adab atau kesusastraan, tarikh (sejarah), dan lain sebagainya. Bahkan juga tidak jarang yang menguasai ilmu ketabibab, ilmu hisab (arithmatika), mantiq (logika), falsafah, ilmu falaq (astronomi), perkapalan, perdagangan, geografi, pelayaran, dan lain sebagainya. Dalam berdakwah tidak jarang mereka menggunakan media kesenian dan juga menggunakan budaya lokal. Dengan itu segera agama ini mempribumi dan berkat kegiatan mereka pula, terutama di kepulauan Melayu, kebudayaan penduduk setempat dengan mudah diintegrasikan ke dalam Islam.

(Sumber Rujukan: (1) Tirmingham, The Sufi Order in Islam, 1972; (2) Anthony H. John, “Sufism as a Category in Indonesian Literature and History” JSAH 2, July 1961; (3) Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism, 1980; (4) Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of Islam; (5) Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, 2001; (6) S. A. Rizvi, A History of Sufism in India, 1978. AH WM)

Amalan Hizib dan Azimah


Mengamalkan doa-doa, hizib dan memakai azimat pada dasanya tidak lepas dari ikhtiar atau usaha seorang hamba, yang dilakukan dalam bentuk doa kepada Allah SWT. Jadi sebenanya, membaca hizib, dan memakai azimat, tidak lebih sebagai salah satu bentuk doa kepada Allah SWT. Dan Allah SWT sangat menganjurkan seorang hamba untuk berdoa kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
اُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ

'Berdoalah kamu, niscya Aku akan mengabulkannya untukmu. (QS al-Mu'min: 60)

Ada beberapa dalil dari hadits Nabi yang menjelaskan kebolehan ini. Di antaranya adalah:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الأشْجَعِي، قَالَ:" كُنَّا نَرْقِيْ فِيْ الجَاهِلِيَّةِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: اعْرِضُوْا عَلَيّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ

Dari Auf bin Malik al-Asja’i, ia meriwayatkan bahwa pada zaman Jahiliyah, kita selalu membuat azimat (dan semacamnya). Lalu kami bertanya kepada Rasulullah, bagaimana pendapatmu (ya Rasul) tentang hal itu. Rasul menjawab, ''Coba tunjukkan azimatmu itu padaku. Membuat azimat tidak apa-apa selama di dalamnya tidak terkandung kesyirikan."
(HR Muslim [4079]).

Dalam At-Thibb an-Nabawi, al-Hafizh al-Dzahabi menyitir sebuah hadits:

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Apabila salah satu di antara kamu bangun tidur, maka bacalah (bacaan yang artinya) Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah SWT yang sempurna dari kemurkaan dan siksaan-Nya, dari perbuatan jelek yang dilakukan hamba-Nya, dari godaan syetan serta dari kedatangannya padaku. Maka syetan itu tidak akan dapat membahayakan orang tersebut." Abdullah bin Umar mengajarkan bacaan tersebut kepada anak­anaknya yang baligh. Sedangkan yang belum baligh, ia menulisnya pada secarik kertas, kemudian digantungkan di lehernya.
(At-Thibb an-Nabawi, hal 167).

Dengan demikian, hizib atau azimat dapat dibenarkan dalam agama Islam. Memang ada hadits yang secara tekstual mengindikasikan keharaman meoggunakan azimat, misalnya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الرُّقًى وَالتَّمَائِمَ وَالتَّوَالَةَ شِرْكٌ

Dari Abdullah, ia berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “'Sesungguhnya hizib, azimat dan pelet, adalah perbuatan syirik.” (HR Ahmad [3385]).

Mengomentari hadits ini, Ibnu Hajar, salah seorang pakar ilmu hadits kenamaan, serta para ulama yang lain mengatakan:

"Keharaman yang terdapat dalam hadits itu, atau hadits yang lain, adalah apabila yang digantungkan itu tidak mengandung Al-Qur’an atau yang semisalnya. Apabila yang digantungkan itu berupa dzikir kepada Allah SWT, maka larangan itu tidak berlaku. Karena hal itu digunakan untuk mengambil barokah serta minta perlindungan dengan Nama Allah SWT, atau dzikir kepado-Nya." (Faidhul Qadir, juz 6 hal 180-181)

lnilah dasar kebolehan membuat dan menggunakan amalan, hizib serta azimat. Karena itulah para ulama salaf semisal Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah juga membuat azimat.

A-Marruzi berkata, ''Seorang perempuan mengadu kepada Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal bahwa ia selalu gelisah apabila seorang diri di rumahnya. Kemudian Imam Ahmad bin Hanbal menulis dengan tangannya sendiri, basmalah, surat al-Fatihah dan mu'awwidzatain (surat al-Falaq dan an-Nas)." Al-Marrudzi juga menceritakan tentang Abu Abdillah yang menulis untuk orang yang sakit panas, basmalah, bismillah wa billah wa Muthammad Rasulullah, QS. al-Anbiya: 69-70, Allahumma rabbi jibrila dst. Abu Dawud menceritakan, "Saya melihat azimat yang dibungkus kulit di leher anak Abi Abdillah yang masih kecil." Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyah menulis QS Hud: 44 di dahinya orang yang mimisan (keluar darah dati hidungnya), dst." (Al-Adab asy-Syar'iyyah wal Minah al-Mar'iyyah, juz II hal 307-310)

Namun tidak semua doa-doa dan azimat dapat dibenarkan. Setidaknya, ada tiga ketentuan yang harus diperhatikan.

1. Harus menggunakan Kalam Allah SWT, Sifat Allah, Asma Allah SWT ataupun sabda Rasulullah SAW

2. Menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa lain yang dapat dipahami maknanya.

3. Tertanam keyakinan bahwa ruqyah itu tidak dapat memberi pengaruh apapun, tapi (apa yang diinginkan dapat terwujud) hanya karena takdir Allah SWT. Sedangkan doa dan azimat itu hanya sebagai salah satu sebab saja." (Al-Ilaj bir-Ruqa minal Kitab was Sunnah, hal 82-83).

Mursyid

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur´an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.

Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya´rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah "dunia ilmu", yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma´rifat itu sendiri.

Jalan ma´rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: "Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan".

Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.

Sebagaimana ayat al-Qur´an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma´rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.

Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.

Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha´at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur´an disebutkan:

"Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah."
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ´Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ´Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya´ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak - minimal -ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.

Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.

Syekh Abu Madyan - ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, "Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu."

Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, "Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah".

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.

Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara´ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba´ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana´ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.

Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.

Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.

Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra´ dan Mi´raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.

Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya´rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam "Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma´rifati Qawa´idus Shufiyah".

Ajaran Dasar Thoriqoh Naqsyabandiyyah


Syaikh Amin Al Kurdi menjelaskan ada 11 (sebelas) dasar ajaran Tarikat Naqsyabandiyah, yaitu :

1). “Huwasy Dardam” , yaitu pemeliharaan keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT atau tetap hadirnya Allah SWT pada waktu masuk dan keluarnya nafas. Setiap murid atau salik menarikkan dan menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat atau hadir bersama Allah di dalam hati sanubarinya. Ingat kepada Allah setiap keluar masuknya nafas, berarti memudahkan jalan untuk dekat kepada Allah SWT, dan sebaliknya lalai atau lupa mengingat Allah, berarti menghambat jalan menuju kepada- Nya.

2). “Nazhar Barqadlam” yaitu setiap murid atau salik dalam iktikaf/suluk bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki dan apabila dia duduk dia melihat pada kedua tangannya. Dia tidak boleh memperluas pandangannya ke kiri atau ke kanan, karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang atau terhambat untuk berzikir atau mengingat Allah SWT. Nazhar Barqadlam ini lebih ditekankan lagi bagi pengamal tarikat yang baru suluk, karena yang bersangkutan belum mampu memelihara hatinya.

3). “Safar Darwathan”  yaitu perpindahan dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci lagi utama. Karena itu wajiblah bagi si murid atau salik mengontrol hatinya, agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada makhluk.

4). “Khalwat Daranjaman” yaitu setiap murid atau salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan, baik waktu sunyi maupun di tempat orang banyak. Dalam Tarikat Naqsyabandiyah ada dua bentuk khalwat :

a. Berkhalwat lahir, yaitu orang yang melaksanakan suluk dengan mengasingkan diri di tempat yang sunyi dari masyarakat ramai.

b. Khalwat batin, yaitu hati sanubari si murid atau salik senantiasa musyahadah, menyaksikan rahasia- rahasia kebesaran Allah walaupun berada di tengah- tengah orang ramai.

5). “Ya Dakrad” yaitu selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baik zikir ismus zat (menyebut Allah, Allah,.), zikir nafi isbat (menyebut la ilaha ilallah), sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.

6). “Bar Kasyat” yaitu orang yang berzikir nafi isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali munajat kepada Allah dengan mengucapkan kalimat yang mullia
“Wahai Tuhan Allah, Engkaulah yang aku maksud (dalam perjalanan rohaniku ini) dan keridlaan-Mulah yang aku tuntut”. Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki, dan semua makhluk ini lenyap dari pemandangannya.

7).“Nakah  Dasyat” yaitu setiap murid atau salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya, walaupun hanya sebentar. Karena godaan yang mengganggu itu adalah masalah yang besar, yang tidak boleh terjadi dalam ajaran dasar tarikat ini.

Syekh Abu Bakar Al Kattani berkata, “Saya menjaga pintu hatiku selama 40 (empat puluh) tahun, aku tiada membukakannya selain kepada Allah SWT, sehingga menjadilah hatiku itu tidak mengenal seseorang pun selain daripada Allah SWT.”
Sebagian ulama tasawuf berkata “Aku menjaga hatiku 10 (sepuluh) malam, maka dengan itu hatiku menjaga aku selama 20 (duapuluh) tahun.”

8).“Bad Dasyat”  yaitu tawajuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah, menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT terhadap Nur Zat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha Esa) tanpa disertai dengan kata- kata. Keadaan “Bad Dasyat” ini baru dapat dicapai oleh seorang murid atau salik, setelah dia mengalami fana dan baka yang sempurna. Adapun tiga ajaran dasar yang berasal dari Bahauddin Naqsyabandi adalah,

9).“Wuquf Zamani”  yaitu kontrol yang dilakukan oleh seorang murid atau salik tentang ingat atau tidaknya ia kepada Allah SWT setiap dua atau tiga jam. Jika ternyata dia berada dalam keadaan ingat kepada Allah SWT pada waktu tersebut, ia harus bersyukur dan jika ternyata tidak, ia harus meminta ampun kepada Allah SWT dan kembali mengingat- Nya.

10).“Wuquf ‘Adadi” yaitu memelihara bilangan ganjil dalam menyelesaikan zikir nafi isbat, sehingga setiap zikir nafi isbat tidak diakhiri dengan bilangan genap. Bilangan ganjil itu, dapat saja 3 (tiga) atau 5 (lima) sampai dengan 21 (duapuluh satu), dan seterusnya.

11).“Wuquf Qalbi” yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ubaidullah Al- Ahrar, “Keadaan hati seorang murid atau salik yang selalu hadir bersama Allah SWT”. Pikiran yang ada terlebih dahulu dihilangkan dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan segenap tenaga dan panca indera untuk melakukan tawajuh dengan mata hati yang hakiki, untuk menyelami makrifat Tuhannya, sehingga tidak ada peluang sedikitpun dalam hati yang ditujukan kepada selain Allah SWT, dan terlepas dari pengertian zikir.



Ahli Shufi


Ilmu Tasawwuf adalah salah satu cabang dari ilmu-ilmu Islam yang utama, iaitu Ilmu Tauhid (Usuluddin), Ilmu Feqah dan Ilmu Tasawwuf.

Ilmu Tauhid bertugas membahas soal-soal I'tiqad, seperti I'tiqad mengenai ketuhanan, kerasulan, hari akhirat dan lain-lain lagi.

Ilmu Feqah bertugas membahas soal-soal ibadat lahir, seperti sembahyang, puasa, zakat, naik haji dan lain-lain.

Ilmu Tasawwuf bertugas membahas soal-soal yangbertalian dengan akhlak dan budi pekerti, bertalian dengan hati, iaitu cara-cara Ikhlas, khusyuk, tawadduk, muraqabah, mujahadah, sabar, redha, tawakkal dan lain-lain yang bertalian dengan hati.

Ringkasnya: Tauhid takluk kepada i'tiqad, Feqah takluk kepada amal ibadah, dan Tasawwuf takluk kepada akhlak, iaitu amalan hati.

Kepada setiap orang Islam dianjurkan supaya beri'tiqad sebagaimana yang diatur dalam Ilmu Tauhid, supaya beribadat sebagaimana diatur dalam Ilmu Feqah, dan supaya berakhlak sesuai dengan Ilmu Tasawwuf.

Sepanjang sejarah, dalam Ilmu Tauhid (Usuluddin) telah muncul ulama'-ulama' besar, seperti:
  1. Shaikh Abu Hassan al-Asyaari (wafat 324 H)
  2. Shaikh Abu Mansur al-Maturidi (wafat 333 H)
  3. Shaikh al-Baqalani (wafat 403 H)
  4. Shaikh al-Asfarini (wafat 406 H)
  5. Shaikh al-Qusyairi (wafat 465 H)
  6. Shaikh al-Juwaini (Imam al-Haramain, wafat 460 H)
    Dan lain-lain
Dalam Ilmu Feqah telah muncul ulama'-ulama' besar, seperti:
  1. Imam Hanafi (wafat 150 H)
  2. Imam Maliki (wafat 179 H)
  3. Imam Syafie (wafat 205 H)
  4. Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H)
  5. Imam al-Juwaini (wafat 460 H)
  6. Imam Nawawi (wafat 676 H)
  7. Imam al-Ramli (wafat 1004 H)
  8. Imam Ibnu Hajar al-Haitimi (wafat 974 H)
  9. Imam Khatib Syarbini (wafat 977 H)
  10. Syeikh Zakaria al-Ansori (wafat 926 H)
    Dan lain-lain.
Dalam Ilmu Tasawwuf telah muncul ulama'-ulama' besar, seperti:
  1. Shaikh Hassan Basri (wafat 110 H)
  2. Shaikhah Rabiatul Adawiah (wafat 135 H)
  3. Shaikh Sufian al-Thauri (wafat 161 H)
  4. Shaikh Ibrahim bin Adham (wafat 161 H)
  5. Shaikh Shaqiq al-Balkhi (wafat 195 H)
  6. Shaikh Maaruf al-Kharkhi (wafat 200 H)
  7. Shaikh al-Sirri al-Siqti (wafat 257 H)
  8. Shaikh Dzun al-Nun al-Misri (wafat 245 H)
  9. Shaikh Junaid al-Baghdadi (wafat 297 H)
  10. Shaikh Abu Yazid al-Bustami (wafat H)
  11. Shaikh Abu Talib al-Makki (wafat 386 H)
  12. Shaikh al-Qusyairi (wafat 465 H)
  13. Hujjatul Islam Abu Hamid al-Ghazali (wafat 505 H)
    Dan lain-lain.
Mereka inilah di antaranya ulama'-ulama' yang mengodak, merumuskan, dan langsung membukukan ilmu-ilmu dalam babnya masing-masing, iaitu dalam Usuluddin, Feqah dan Tasawwuf, sehingga kita sekarang dapat menikmati usaha mereka itu dengan membaca kitab-kitabnya dan mempelajari pendapat-pendapatnya dalam pelbagai kitab yang terbit kemudian.

Sesudah masa abad mereka ini, muncullah berpuluh-puluh dan bahkan sampai beratus-ratus ulama' Islam yang mengikuti jejak mereka itu dengan mengarang buku-buku dan kitab-kitab yang bertalian dengan ilmu Usuluddin, Feqah dan Tasawwuf yang sampai waktu sekarang kita pelajari dan kita nikmati serta kita ikuti.

Sebagai yang kami huraikan di atas bahawa sasaran ajaran Tasawwuf ialah akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih cinta kepada Tuhan.

Kerana itu ajaran tasawwuf terdapat dalam hampir setiap agama, seperti dalam agama Buddha, agama Yahudi, agama Kristian dan lain-lain agama kerana tujuan dari agama-agama itu mulanya adalah akhlak yang baik, budi pekerti yang luhur berdasarkan cinta kasih kepada Tuhan.

Oleh kerana itu andaikata terdapat persamaan ajaran antara Buddha atau Kristian dalam soal tasawwuf dengan Islam, maka janganlah cepat-cepat diambil kesimpulan bahawa tasawwuf itu diambil dari agama Buddha atau Kristian.

Seorang ulama' wanita ahli tasawwuf yang besar, Rabiatul Adawiyyah (wafat 135 H) mendasarkan tasawwuf pada "KASIH" dan "CINTA" berdasarkan "HUBB". Tetapi beliau bukan mengambil kasih dan cinta itu daripada ajaran agama Kristian, sebab menurut sejarah Islam Rabiatul Adawiyah tidak dikenal pernah belajar kepada orang-orang Kristian.

HUBB atau CINTAnya Rabiatul Adawiyah berdasarkan Islam, bersumberkan Quran dan Hadith, dan "HUBB" yang ada di dalam ajaran Kristian tentu berdasarkan ajaran-ajaran al-Masih.

Sama juga hal keadaannya dalam Ilmu Tauhid dan Feqah, maka di dalam Ilmu Tasawwuf terdapat kitab-kitab yang menerangkan secara gembeling akan Ilmu Tasawwuf itu dan sangkut pautnya dengan al-Quran dan Hadith, dengan ama-amal sahabat nabi, tabien dan tabi at-tabien.

Kitab-kitab itu tersiar luas di seluruh pelusuk dunia Islam, di antaranya:
  1. Ihya' 'Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali
  2. Mau'zah al-Mukminin Muhtasar Ihya' Ulumuddin karangan al-Qasimi
  3. Bimbingan Untuk Mencapai Tingkat Mukmin (Terjemahan Mau'zah al-Mukminin), Bahasa Indonesia - huruf latin, terjemahan Muhammad Abdul al-Rathmi
  4. Risalah al-Qusyairiah karangan al-Qusyairi
  5. Tazkirah al-Qurtubi karangan al-Sya'arani
  6. al-Hikam karangan Ibnu 'Ata'illah
  7. Kitab al-Arbain karangan al-Ghazali
  8. Mikraj as-Salikin karangan al-Ghazali
  9. Minhaj al-'Arifin karangan al-Ghazali
  10. Minhaj al-'Abidin karangan al-Ghazali
    Dan lain-lain.
Kitab-kitab ini menghuraikan dan menggali Ilmu Tasawwuf sedalam-dalamnya dari al-Quran dan Hadith sehingga Ilmu itu menjadi terang benderang, dapat dijadikan seluruh dan pedoman dalam menggamalkan tasawwuf dengan cara yang benar.
Oleh kerana itu sekelian umat Islam yang berfaham Ahli Sunnah wal Jamaah dalam i'tiqad dan menganut mazhab yang empat dalam syariat dan ibadat, mengamalkan ajaran tasawwuf dan berpegang teguh kepada pengajian-pengajiannya.

Dan untuk melengkapi pengajian-pengajian tasawwuf, ahli-ahli sufi mengadakan istilah-istilah yang terkenal dalam Ilmu Tasawwuf, sama juga halnya dengan ulama'-ulama' Feqah mengadakan istilah-istilah yang bertalian dengan Ilmu Feqah. memang, setiap ilmu mempunyai istilah-istilah yang sendiri.

Alhamdulillah, setahu kita Umat Islam di seluruh dunia terutamanya di nusantara ini (Indonesia dan Malaysia), ulama'-ulama'nya mengamalkan sebaik-baiknya ajaran tasawwuf itu. Mereka khusyuk dan tawadduk kepada tuhan, Mujahadah dan Muraqabah, Sabar dan Tawakkal, mereka menjauhi urusan duniawi yang berlebih-lebihan, mereka tidak mengejar ketingggian pangkat duniawi, mereka baik dan jujur, dan lain-lain sifat yang baik yang diajarkan dalam Ilmu Tasawwuf.

Maqbaroh Maulana Sidi Syaikh Syamsuddin Habibulloh QS,


Untuk a’lam

Maqbaroh Imam Ali KW


Maqbaroh Maulana Sidi Syaikh Imam Robbani Ahmad Faruqi Sirhindi QS