Senin, 11 Juni 2012
Jumat, 17 Februari 2012
Budaya Islami
Allah Subhanahu Wata'ala menurunkan syari'ah tidak dalam bentuk hukum siap pakai. Al-Qur'an dan Hadits merupakan bahan hukum (mashaadir syar'iyyah). Untuk mengolah bahanbahan hukum tersebut menjadi hukum syari'ah, Allah SWT melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada umat (ulama) sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Para ulama kemudian melakukan ijtihad. Ulama yang melakukan ijtihad biasa disebut mujtahid.
Teks Al-Qur'an dan Hadits adalah bagian dari ajaran agama. Adapun pemahaman (interpretas/) seseorang terhadap teks-teks tersebut belum tentu merupakan bagian dari agama kecuali pemahaman tersebut diujipublikkan melalui sebuah proses yang disebut ijma'. Apabila mayoritas (jumhur) ulama menyatakan, pemahaman tersebut bersih dari unsur kesesatan, maka pemahaman tersebut mendapatkan legitimasi agama dan menjadi acuan hukum.
Itulah proses ijma' yang merupakan proses aktif yang fungsinya menyaring sebuah pemahaman dari unsur kesesatan. Bagaimanapun, ijma’ ulama dijamin agama. la terhindar jauh dari unsur kesesatan. Karena itu, ketidaktransparanan dan penolakan terhadap proses uji publik merupakan bagian dari ciri-ciri aliran sesat.
Ijma' berbeda dengan qiyas. Apabila proses ijtihad dilakukan melalui analogi terhadap hukum syari'ah yang telah ada, proses tersebut disebut qiyas. Qiyas adalah alasan hukum yang diambil berdasarkan perbandingan atau persamaan dengan hal-hal yang telah ada dalam hukum Islam.
Dengan demikian, turuqul ijtihad (metodologi ijtihad) yang sekaligus merupakan sumber-sumber hukum syari'ah terdiri dari empat tahapan: Al-Qur'an, Hadits, Ijma', dan Qiyas. Keempat sumber hukum syari'ah inilah yang hingga kini menjadi pegangan utama umat Islam.
Beberapa hikmah di balik pemberian wewenang untuk ber-ijtihad kepada umat, di antanya: 1). Hukum syari'ah tidak akan melampaui batas kemampuan umat, karena umat sendiri yang memprosesnya. 2). Adanya motivasi ilmu, sehingga umat menjadi cerdas dan paham. 3). Pelimpahan wewenang melahirkan perbedaan pendapat di antara para ulama yang akhimya menghasilkan beberapa altematif hukum dalam masalah yang sama. Dengan begitu, lahirlah beberapa madzhab. Dan hingga akhir zaman, ada empat madzhab yang diakui: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.
4). Dalam kitab-kitab perbandingan madzhab, tidak satu pun dari ulama madzhab yang menggunakan kalimat seperti "Pendapat ini benar, sedangkan pendapat yang itu salah." Adapun kalimat yang selalu digunakan oleh mereka adalah: "Pendapat ini benar, pendapat yang itu lebih benar; Pendapat ini kuat, pendapat yang itu lemah; Dalam masalah ini ada dua pendapat atau lebih, dan seterusnya.” Ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan adanya toleransi yang sangat kuat terhadap perbedaan pendapat. Selain itu, hati mereka juga lapang dari truth claim (klaim pembenaran atas pendapat diri) karena memang di dalam fiqih tidak dibenarkan adanya pengklaiman pendapat yang paling benar. Lebih-lebih, pemaksaan sebuah pendapat atau madzhab kepada siapa pun.
Umat awam yang tidak terlibat dalam memproses hukum syari'ah, mereka diberi hak untuk berijtihad dalam memilih madzhab yang cocok dengan nurani, nalar, dan kondisinya, tanpa ada unsur pemaksaan dari pihak manapun.
Sebagai dampak dari kebebasan berijtihad ini, terlihat jelas pada realita: Madzhab Syafi'i dianggap sebagai madzhab yang cocok di daerah tropis seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Madzhab ini tumbuh subur menjadi madzhab mayoritas. Madzhab Hanafi dan Hambali sangat cocak di daerah subtropis seperti negara-negara yang ada di Asia Tengah: India, Pakistan dan di Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Kuwait. Madzhab Maliki subur di daerah dekat kutub seperti Andalus dan Afrika Utara seperti Marako, Tunis dan Aljazair.
Umat juga diberi wewenang untuk ber-ijtihad di dalam penerapan hukum syari'ah. Dalam hal ini, umat telah ber-ijtihad dengan beragam cara: Sebagian berijtihad melalui formalisasi agama; Sebagian berijtihad melalui jalur politik; Sebagian berijtihad melalui jalur kultur budaya religi, yakni penerapan hukum syari'ah yang berpijak kepada kondisi umat.
Penerapan Syari'ah Berpijak Pada Kondisi
Hukum syari'ah dalam batas-batas tertentu, sebenarnya masih berstatus teoritis-idealis. Disebut demikian, karena finalnya tidak terletak pada tataran konsep, tetapi terletak pad a kondisi penerapannya. Dengan demikian, hukum syari'ah bersifat sangat kondisional. Kondisionalitas inilah yang menunjukkan syari'ah Islam sangat fleksibel dan tidak kaku.
Sesuatu yang menurut hukum syari'ah wajib, apabila dalam pelaksanaannya belum memungkinkan karena belum terpenuhinya faktor sebab, syarat dan keberadaan faktor kendala, baik ekonomi atau kesehatan; maka hukum wajib itu menjadi berubah. Misalnya, ibadah haji menurut hukum syari'ah adalah wajib hukumnya bahkan merupakan salah satu rukun Islam. Namun seorang muslim karena faktor kondisi ekonomi atau kesehatannya yang belum memungkinkan, hukum wajib tersebut berubah menjadi tidak wajib.
Jadi, finalisasi atau penentu utama dalam pelaksanaan hukum syari'ah adalah kemampuan dan kondisi umat yang menjadi sasaran dari hukum syari'ah itu. Kemampuan dan kondisi ini tertuang di dalam ilmu Usul Fiqih dengan al-ahkaam alwadf'iyah, yakni faktor-faktor sebab, syarat, dan keberadaan kendala. Dengan begitu, penerapan hukum syari'ah yang seirama dengan kebijakan agama dapat diberlakukan melalui upaya-upaya pengondisian umat yang dalam bahasa sosiologi sering disebut jalur kultur-budaya-religi. Dalam pengondisian tersebut, Allah SWT selalu memerintahkan kepada umat untuk menghindari segala sesuatu yang sulit. "Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah." (QS Thaha, 2).
Teks Al-Qur'an dan Hadits adalah bagian dari ajaran agama. Adapun pemahaman (interpretas/) seseorang terhadap teks-teks tersebut belum tentu merupakan bagian dari agama kecuali pemahaman tersebut diujipublikkan melalui sebuah proses yang disebut ijma'. Apabila mayoritas (jumhur) ulama menyatakan, pemahaman tersebut bersih dari unsur kesesatan, maka pemahaman tersebut mendapatkan legitimasi agama dan menjadi acuan hukum.
Itulah proses ijma' yang merupakan proses aktif yang fungsinya menyaring sebuah pemahaman dari unsur kesesatan. Bagaimanapun, ijma’ ulama dijamin agama. la terhindar jauh dari unsur kesesatan. Karena itu, ketidaktransparanan dan penolakan terhadap proses uji publik merupakan bagian dari ciri-ciri aliran sesat.
Ijma' berbeda dengan qiyas. Apabila proses ijtihad dilakukan melalui analogi terhadap hukum syari'ah yang telah ada, proses tersebut disebut qiyas. Qiyas adalah alasan hukum yang diambil berdasarkan perbandingan atau persamaan dengan hal-hal yang telah ada dalam hukum Islam.
Dengan demikian, turuqul ijtihad (metodologi ijtihad) yang sekaligus merupakan sumber-sumber hukum syari'ah terdiri dari empat tahapan: Al-Qur'an, Hadits, Ijma', dan Qiyas. Keempat sumber hukum syari'ah inilah yang hingga kini menjadi pegangan utama umat Islam.
Beberapa hikmah di balik pemberian wewenang untuk ber-ijtihad kepada umat, di antanya: 1). Hukum syari'ah tidak akan melampaui batas kemampuan umat, karena umat sendiri yang memprosesnya. 2). Adanya motivasi ilmu, sehingga umat menjadi cerdas dan paham. 3). Pelimpahan wewenang melahirkan perbedaan pendapat di antara para ulama yang akhimya menghasilkan beberapa altematif hukum dalam masalah yang sama. Dengan begitu, lahirlah beberapa madzhab. Dan hingga akhir zaman, ada empat madzhab yang diakui: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali.
4). Dalam kitab-kitab perbandingan madzhab, tidak satu pun dari ulama madzhab yang menggunakan kalimat seperti "Pendapat ini benar, sedangkan pendapat yang itu salah." Adapun kalimat yang selalu digunakan oleh mereka adalah: "Pendapat ini benar, pendapat yang itu lebih benar; Pendapat ini kuat, pendapat yang itu lemah; Dalam masalah ini ada dua pendapat atau lebih, dan seterusnya.” Ungkapan-ungkapan tersebut menunjukkan adanya toleransi yang sangat kuat terhadap perbedaan pendapat. Selain itu, hati mereka juga lapang dari truth claim (klaim pembenaran atas pendapat diri) karena memang di dalam fiqih tidak dibenarkan adanya pengklaiman pendapat yang paling benar. Lebih-lebih, pemaksaan sebuah pendapat atau madzhab kepada siapa pun.
Umat awam yang tidak terlibat dalam memproses hukum syari'ah, mereka diberi hak untuk berijtihad dalam memilih madzhab yang cocok dengan nurani, nalar, dan kondisinya, tanpa ada unsur pemaksaan dari pihak manapun.
Sebagai dampak dari kebebasan berijtihad ini, terlihat jelas pada realita: Madzhab Syafi'i dianggap sebagai madzhab yang cocok di daerah tropis seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Madzhab ini tumbuh subur menjadi madzhab mayoritas. Madzhab Hanafi dan Hambali sangat cocak di daerah subtropis seperti negara-negara yang ada di Asia Tengah: India, Pakistan dan di Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Kuwait. Madzhab Maliki subur di daerah dekat kutub seperti Andalus dan Afrika Utara seperti Marako, Tunis dan Aljazair.
Umat juga diberi wewenang untuk ber-ijtihad di dalam penerapan hukum syari'ah. Dalam hal ini, umat telah ber-ijtihad dengan beragam cara: Sebagian berijtihad melalui formalisasi agama; Sebagian berijtihad melalui jalur politik; Sebagian berijtihad melalui jalur kultur budaya religi, yakni penerapan hukum syari'ah yang berpijak kepada kondisi umat.
Penerapan Syari'ah Berpijak Pada Kondisi
Hukum syari'ah dalam batas-batas tertentu, sebenarnya masih berstatus teoritis-idealis. Disebut demikian, karena finalnya tidak terletak pada tataran konsep, tetapi terletak pad a kondisi penerapannya. Dengan demikian, hukum syari'ah bersifat sangat kondisional. Kondisionalitas inilah yang menunjukkan syari'ah Islam sangat fleksibel dan tidak kaku.
Sesuatu yang menurut hukum syari'ah wajib, apabila dalam pelaksanaannya belum memungkinkan karena belum terpenuhinya faktor sebab, syarat dan keberadaan faktor kendala, baik ekonomi atau kesehatan; maka hukum wajib itu menjadi berubah. Misalnya, ibadah haji menurut hukum syari'ah adalah wajib hukumnya bahkan merupakan salah satu rukun Islam. Namun seorang muslim karena faktor kondisi ekonomi atau kesehatannya yang belum memungkinkan, hukum wajib tersebut berubah menjadi tidak wajib.
Jadi, finalisasi atau penentu utama dalam pelaksanaan hukum syari'ah adalah kemampuan dan kondisi umat yang menjadi sasaran dari hukum syari'ah itu. Kemampuan dan kondisi ini tertuang di dalam ilmu Usul Fiqih dengan al-ahkaam alwadf'iyah, yakni faktor-faktor sebab, syarat, dan keberadaan kendala. Dengan begitu, penerapan hukum syari'ah yang seirama dengan kebijakan agama dapat diberlakukan melalui upaya-upaya pengondisian umat yang dalam bahasa sosiologi sering disebut jalur kultur-budaya-religi. Dalam pengondisian tersebut, Allah SWT selalu memerintahkan kepada umat untuk menghindari segala sesuatu yang sulit. "Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah." (QS Thaha, 2).
Agama merupakan salah satu sumber kebudayaan. Dalam penerapan hukum syari'ah, kebudayaan lokal (local culture) justru semakin kaya oleh nilai-nilai baru. Dalam hal berbusana misalnya. Islam melalui IImu Fiqih hanya memberikan norma (makna atau esensi). Norma dan makna itu berupa batasan aurat yang harus ditutupi.
Adapun dalam hal mode pakaian, agama tidak menuntut mode tertentu seperti mode pakaian zaman Rasul SAW. Karena agama memandang mode (makna simbol) sebagai bagian dari semangat kreativitas tradisi, budaya. Semangat kreativitas itu dapat berubah di setiap komunitas, tempat, dan zaman. Sebaliknya, ketentuan menutup batasan aurat merupakan bagian dari norma agama yang tidak berubah. Begitu juga dalam hal lainnya.
Islam diturunkan di lingkungan budaya Arab, dan Rasul SAW adalah orang Arab. Namun dalam hal ini, Islam tidak identik dengan Arab. Atau sebaliknya, Arab tidak identik dengan Islam. Dengan ketentuan seperti ini, Islam akan dapat diterima dengan tumbuh subur di segala tempat, komunitas dan zaman. Ajarannya dapat diterapkan pada karakter dan kultur budaya masing-masing umat. Itulah bukti, nilai ajaran Islam itu fleksibel.
Berkaitan dengan penerapan hukum syari'ah, Hadits menyebutkan: Kalian, para sahabat, hidup di suatu zaman (zaman Rasul saw), bila kalian meninggalkan 10% (sepuluh persen) dari ajaran agama (artinya, telah menerapkan 90%), maka kalian akan hancur diazab oleh Allah. Namun kelak, akan datang suatu zaman, kendatipun mereka baru mampu menerapkan 10% (sepeluh persen) saja dari ajaran agama ini, mereka akan selamat dari ancaman azab. (H.R Turmudzi).
Rasul saw menyebutkan angka 10% dalam hal tolok ukur keselamatan umat akhir zaman. Penyebutan angka ini bersifat kontekstual. Maksudnya, - wallahu a'lam - Rasul SAW sangat memahami dampak globalisasi terhadap kesulitan umat dalam penerapan hukum syari'ah secara sempuma. Itulah sebabnya, Rasul SAW menduga, lebih tepatnya memprediksi, akan ada indikasi penurunan kuantitas dan kualitas penerapan hukum syari'ah dalam kehidupan umat pad a akhir zaman. Terlepas dari itu semua, Hadits yang jauh menjangkau masa depan ini (futuris) dapat dipandang sebagai dorongan moral-spiritual bagi umat untuk berusaha semaksimal mungkin dalam penerapan hukum syari'ah sebatas kemampuannya. Walaupun pada akhirnya sulit untuk menerapkannya secara sempurna. Bukankah Allah SWT sering menegaskan, bertakwa-lah sesuai dengan kadar kemampuanmu, Ittaqullah mastatha'tum. Semakin tinggi tingkat kesulitan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, semakin tinggi nilai penghargaan yang diperolehnya dari Allah SWT.
Penghargaan ini terlepas dari berhasil atau tidaknya pekerjaan tersebut. Karena yang akan ditanya Allah swt kelak pada hari kemudian adalah: Apa upayamu? dan bukan apa hasilmu. Karena, upaya merupakan hak yang dimiliki pihak manusia, sementara hakekat penentu keberhasilan ada di tangan Allah swt secara mutlak. Itulah sebabnya, Allah swt tidak menanyakan kepada hamba-Nya tentang sesuatu yang ada di tangan-Nya. Yakni, keberhasilan.
Ekstrimisme dalam Penerapan Hukum Syari'ah
Masih berkaitan dengan penerapan hukum syari'ah, Rasul SAW memperingatkan para ekstrimis yang cenderung melakukan kekerasan dalam kehidupan beragama. Ekstrimitas adalah tindakan yang melewati batas (radikal) yang biasanya cenderung bersifat kaku. Ekstrimitas dalam beragama berarti perbuatan yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran agama yang bersifat berlebihan atau cenderung kaku. Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh ekstrimitas ini, ada banyak Hadits yang memberi peringatan. Peringatan tersebut tertuang di antaranya dalam Hadits berikut:
Hati-hati dengan ekstrimisme dalam kehidupan beragama karena kehancuran umat terdahulu terjadi karena ekstrimisme da/am kehidupan beragama. (HR. Ahmad dan AnNasa’i)
Celaka orang-orang ekstrim !!! (diucapkan oleh Rasul SAW sampai tiga kali). (H.R Muslim). (Perawi Hadits berkata): Orang-orang ekstrim adalah orang-orang yang melakukan kekerasan yang bukan pada tempatnya da/am kehidupan beragama.
Pertanyaannya, mengapa ektrimisme di dalam penerapan hukum syari'ah dilarang Rasul saw? Mengapa beliau bahkan mewanti-wanti kepada umatnya, kehancuran umat terdahulu terjadi disebabkan oleh ekstrimisme? Di dalam agama, terdapat batasan wewenang manusia sebagai hamba Allah swt. Ketika seseorang berdakwah sesuai dengan wewenangnya dalam rangka menerapkan hukum syari'ah, ia memiliki keterbatasan terutama menyangkut ketidakmampuan seseorang memberi hidayah kepada objek dakwah (mad'u). la mesti sadar, Allah SWT tidak memberikan wewenang kepada siapapun untuk mampu memberikan hidayah kepada sesamanya. Pemberian hidayah adalah wewenang mutlak Allah SWT.
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima hid ayah. (QS al-Qashash, 56).
Jangankan menusia biasa, setingkat Nabi Ibrahim as sekalipun, tidak mampu memberikan hidayah kepada ayahnya. Nabi Nuh as tidak mampu memberi hidayah kepada anaknya. Nabi Luth as tidak mampu memberi hidayah kepada istrinya. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiri, tidak diberi wewenang untuk bisa memberikan hidayah kepada pamannya, Abu Thalib. Apalagi dengan manusia kebanyakan lainnya.
Atas dasar batasan wewenang manusia itulah, agama melarang segala bentuk pemaksaan atas nama agama. Tindakan yang termasuk dilarang adalah tindak kekerasan dan ekstrimitas dalam kehidupan beragama. Hadits Rasul SAW berikut memberi penegasan.
Demi Allah, bila kalian tidak berbuat dosa, Allah mengganti kalian dengan generasi baru yang berbuat dosa. Namun, mereka selalu meminta ampun kepada-Nya dan Mahapengampun memberikan ampunan kepada mereka. (H.R Muslim)
Sepintas lalu, Hadits tersebut sepertinya menyadarkan kita, bahwa manusia begitu rentan untuk berbuat dosa. Di dalam diri setiap manusia telah diselipkan oleh Allah SWT berbagai unsur syahwat. Di dalamnya ada peluang keburukan dan kebaikan. Namun, yang sebenamya sangat "dipermasalahkan" oleh Allah swt adalah: Mengapa manusia enggan untuk meminta ampunan kepadaNya? Mengapa manusia juga berat hati untuk kembali dan bertaubat kepada-Nya? Padahal Allah SWT Mahapengampun dan Dia paling suka untuk memberikan ampunan.
Tujuan utama Allah swt mengutus Rasul SAW adalah untuk menyempumakan etika, moral, dan akhlak yang mulia. Rasul SAW bersabda: Sesungguhnya aku (Rasul SAW) diutus (oleh Allah swt) untuk menyempumakan akhak (etika) yang mulia. (HR. Ahmad).
Hadits ini sang at menekankan pentingnya etika, moral dan akhlak yang mulia. Secara khusus, dalam penerapan hukum syari'ah. Penekanan seperti ini dapat dilihat juga dari firman Allah SWT; "Dan bila engkau (Rasul) tidak ramah dan berhati keras (dalam ber-da'wah) maka pasti orang-orang menghindar darimu." (Q.S. Ali Imran: 159)
Dalam ayat ini, Allah SWT mengingatkan Rasul SAW agar tetap menjaga etika di dalam melaksakan tugas da'wahnya. Jadi, siapapun tidak dibenarkan "mengatasnamakan" penerapan hukum syari'ah dengan cara melakukan pelanggaran terhadap etika, moral dan akhlak yang mulia. Artinya, dalam situasi dan kondisi bagaimana pun, ia harus tetap mengacu dan berada pada koridor tersebut.
Di samping itu, realita yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa segala bentuk upaya yang dilakukan oleh manusia --termasuk dalam upaya dakwah bil lisan maupun bil-hal - tingkat keberhasilan dan kegagalannya dalam hal mendapat hidayah, sepenuhnya menjadi wewenang mutlak Allah SWT. Keterlibatan dan segala yang diupayakan manusia menunjukkan, Allah SWT menghargai posisi dan kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Namun, keberhasilan usaha seriusnya itu ada di tangan kekuasaan-Nya. Demikian pula agenda yang pasti berjalan di lapangan adalah agenda dan kehendak-Nya. Sesuatu yang lazim untuk dilakukan manusia, saat melakukan upaya-upaya penerapan hukum syari'ah melalui jalur kultur budaya religi adalah, tawakal dan bergantung hanya kepada Allah SWT Yang Mahakuasa. Dengan begitu, keshalehan umat, ketaatan beragama, bangsa yang berbudi dan berbudaya luhur, negeri yang makmur, sejahtera, aman dan sentosa, semoga dapat segera terwujud.
Kesimpulan
Dinamika Hukum Islam, temyata di dalamnya terdapat beberapa hal yang cukup menarik untuk dicermati, diantaranya:
1. Allah SWT, walau memiliki otoritas absolut atas hamba-hamba-Nya, namun sangat menghargai hamba-Nya ketika Dia menetapkan hukum syari'ah dengan melibatkan ummat dalam memproses hukum-Nya.
2. Allah SWT menerapkan pendekatan partisipatif dengan memposisikan umat sebagai subjek-aktif yang dihargai, dan bukan sebagai objek-pasif yang didikte. Keterlibatan ini berlangsung mulai dari memproses hukum, memilih altematif hukum sampai pada saat penerapan hukum syari'ah, padahal mereka adalah hamba-Nya.
3. Keberadaan karakter dan dinamika yang terdapat dalam hukum Islam, sebenamya memberi peluang emas yang seluas-luasnya kepada umat Islam untuk dapat lebih pro-aktif berkreasi dengan sang at fleksibel tanpa kaku di dalam penerapan hukum syari'ah yang berpijak pada kemampuan, kondisi budaya lokal serta kondisi zaman dimana umat Islam berada. Dan tentunya termasuk kita sebagai umat Islam yang hidup berdampingan dengan umat agama lainnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Bagi sebagian orang yang kurang memahami hubungan antara agama dan budaya, terutama kurang bisa membedakan antara hal-hal yang bersifat normatif agama dan budaya ketika Islam diterapkan oleh Rasul SAW di lingkungan bangsa dan budaya Arab. Maka dalam penerapan Islam-nya di Indonesia yang terjadi adalah Arabisasi Indonesia atas nama Agama. Padahal, sesuai dengan Karakter dan Dinamika Hukum Islam, ketika nilai-nilai agama Islam diterapkan pada suku Sunda, maka lahirlah Budaya Sunda Islami, begitu juga dengan Budaya Jawa Islami, Budaya Bugis Islami dan seterusnya.
Adapun dalam hal mode pakaian, agama tidak menuntut mode tertentu seperti mode pakaian zaman Rasul SAW. Karena agama memandang mode (makna simbol) sebagai bagian dari semangat kreativitas tradisi, budaya. Semangat kreativitas itu dapat berubah di setiap komunitas, tempat, dan zaman. Sebaliknya, ketentuan menutup batasan aurat merupakan bagian dari norma agama yang tidak berubah. Begitu juga dalam hal lainnya.
Islam diturunkan di lingkungan budaya Arab, dan Rasul SAW adalah orang Arab. Namun dalam hal ini, Islam tidak identik dengan Arab. Atau sebaliknya, Arab tidak identik dengan Islam. Dengan ketentuan seperti ini, Islam akan dapat diterima dengan tumbuh subur di segala tempat, komunitas dan zaman. Ajarannya dapat diterapkan pada karakter dan kultur budaya masing-masing umat. Itulah bukti, nilai ajaran Islam itu fleksibel.
Berkaitan dengan penerapan hukum syari'ah, Hadits menyebutkan: Kalian, para sahabat, hidup di suatu zaman (zaman Rasul saw), bila kalian meninggalkan 10% (sepuluh persen) dari ajaran agama (artinya, telah menerapkan 90%), maka kalian akan hancur diazab oleh Allah. Namun kelak, akan datang suatu zaman, kendatipun mereka baru mampu menerapkan 10% (sepeluh persen) saja dari ajaran agama ini, mereka akan selamat dari ancaman azab. (H.R Turmudzi).
Rasul saw menyebutkan angka 10% dalam hal tolok ukur keselamatan umat akhir zaman. Penyebutan angka ini bersifat kontekstual. Maksudnya, - wallahu a'lam - Rasul SAW sangat memahami dampak globalisasi terhadap kesulitan umat dalam penerapan hukum syari'ah secara sempuma. Itulah sebabnya, Rasul SAW menduga, lebih tepatnya memprediksi, akan ada indikasi penurunan kuantitas dan kualitas penerapan hukum syari'ah dalam kehidupan umat pad a akhir zaman. Terlepas dari itu semua, Hadits yang jauh menjangkau masa depan ini (futuris) dapat dipandang sebagai dorongan moral-spiritual bagi umat untuk berusaha semaksimal mungkin dalam penerapan hukum syari'ah sebatas kemampuannya. Walaupun pada akhirnya sulit untuk menerapkannya secara sempurna. Bukankah Allah SWT sering menegaskan, bertakwa-lah sesuai dengan kadar kemampuanmu, Ittaqullah mastatha'tum. Semakin tinggi tingkat kesulitan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, semakin tinggi nilai penghargaan yang diperolehnya dari Allah SWT.
Penghargaan ini terlepas dari berhasil atau tidaknya pekerjaan tersebut. Karena yang akan ditanya Allah swt kelak pada hari kemudian adalah: Apa upayamu? dan bukan apa hasilmu. Karena, upaya merupakan hak yang dimiliki pihak manusia, sementara hakekat penentu keberhasilan ada di tangan Allah swt secara mutlak. Itulah sebabnya, Allah swt tidak menanyakan kepada hamba-Nya tentang sesuatu yang ada di tangan-Nya. Yakni, keberhasilan.
Ekstrimisme dalam Penerapan Hukum Syari'ah
Masih berkaitan dengan penerapan hukum syari'ah, Rasul SAW memperingatkan para ekstrimis yang cenderung melakukan kekerasan dalam kehidupan beragama. Ekstrimitas adalah tindakan yang melewati batas (radikal) yang biasanya cenderung bersifat kaku. Ekstrimitas dalam beragama berarti perbuatan yang berkaitan dengan pelaksanaan ajaran agama yang bersifat berlebihan atau cenderung kaku. Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh ekstrimitas ini, ada banyak Hadits yang memberi peringatan. Peringatan tersebut tertuang di antaranya dalam Hadits berikut:
Hati-hati dengan ekstrimisme dalam kehidupan beragama karena kehancuran umat terdahulu terjadi karena ekstrimisme da/am kehidupan beragama. (HR. Ahmad dan AnNasa’i)
Celaka orang-orang ekstrim !!! (diucapkan oleh Rasul SAW sampai tiga kali). (H.R Muslim). (Perawi Hadits berkata): Orang-orang ekstrim adalah orang-orang yang melakukan kekerasan yang bukan pada tempatnya da/am kehidupan beragama.
Pertanyaannya, mengapa ektrimisme di dalam penerapan hukum syari'ah dilarang Rasul saw? Mengapa beliau bahkan mewanti-wanti kepada umatnya, kehancuran umat terdahulu terjadi disebabkan oleh ekstrimisme? Di dalam agama, terdapat batasan wewenang manusia sebagai hamba Allah swt. Ketika seseorang berdakwah sesuai dengan wewenangnya dalam rangka menerapkan hukum syari'ah, ia memiliki keterbatasan terutama menyangkut ketidakmampuan seseorang memberi hidayah kepada objek dakwah (mad'u). la mesti sadar, Allah SWT tidak memberikan wewenang kepada siapapun untuk mampu memberikan hidayah kepada sesamanya. Pemberian hidayah adalah wewenang mutlak Allah SWT.
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima hid ayah. (QS al-Qashash, 56).
Jangankan menusia biasa, setingkat Nabi Ibrahim as sekalipun, tidak mampu memberikan hidayah kepada ayahnya. Nabi Nuh as tidak mampu memberi hidayah kepada anaknya. Nabi Luth as tidak mampu memberi hidayah kepada istrinya. Bahkan, Nabi Muhammad SAW sendiri, tidak diberi wewenang untuk bisa memberikan hidayah kepada pamannya, Abu Thalib. Apalagi dengan manusia kebanyakan lainnya.
Atas dasar batasan wewenang manusia itulah, agama melarang segala bentuk pemaksaan atas nama agama. Tindakan yang termasuk dilarang adalah tindak kekerasan dan ekstrimitas dalam kehidupan beragama. Hadits Rasul SAW berikut memberi penegasan.
Demi Allah, bila kalian tidak berbuat dosa, Allah mengganti kalian dengan generasi baru yang berbuat dosa. Namun, mereka selalu meminta ampun kepada-Nya dan Mahapengampun memberikan ampunan kepada mereka. (H.R Muslim)
Sepintas lalu, Hadits tersebut sepertinya menyadarkan kita, bahwa manusia begitu rentan untuk berbuat dosa. Di dalam diri setiap manusia telah diselipkan oleh Allah SWT berbagai unsur syahwat. Di dalamnya ada peluang keburukan dan kebaikan. Namun, yang sebenamya sangat "dipermasalahkan" oleh Allah swt adalah: Mengapa manusia enggan untuk meminta ampunan kepadaNya? Mengapa manusia juga berat hati untuk kembali dan bertaubat kepada-Nya? Padahal Allah SWT Mahapengampun dan Dia paling suka untuk memberikan ampunan.
Tujuan utama Allah swt mengutus Rasul SAW adalah untuk menyempumakan etika, moral, dan akhlak yang mulia. Rasul SAW bersabda: Sesungguhnya aku (Rasul SAW) diutus (oleh Allah swt) untuk menyempumakan akhak (etika) yang mulia. (HR. Ahmad).
Hadits ini sang at menekankan pentingnya etika, moral dan akhlak yang mulia. Secara khusus, dalam penerapan hukum syari'ah. Penekanan seperti ini dapat dilihat juga dari firman Allah SWT; "Dan bila engkau (Rasul) tidak ramah dan berhati keras (dalam ber-da'wah) maka pasti orang-orang menghindar darimu." (Q.S. Ali Imran: 159)
Dalam ayat ini, Allah SWT mengingatkan Rasul SAW agar tetap menjaga etika di dalam melaksakan tugas da'wahnya. Jadi, siapapun tidak dibenarkan "mengatasnamakan" penerapan hukum syari'ah dengan cara melakukan pelanggaran terhadap etika, moral dan akhlak yang mulia. Artinya, dalam situasi dan kondisi bagaimana pun, ia harus tetap mengacu dan berada pada koridor tersebut.
Di samping itu, realita yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa segala bentuk upaya yang dilakukan oleh manusia --termasuk dalam upaya dakwah bil lisan maupun bil-hal - tingkat keberhasilan dan kegagalannya dalam hal mendapat hidayah, sepenuhnya menjadi wewenang mutlak Allah SWT. Keterlibatan dan segala yang diupayakan manusia menunjukkan, Allah SWT menghargai posisi dan kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Namun, keberhasilan usaha seriusnya itu ada di tangan kekuasaan-Nya. Demikian pula agenda yang pasti berjalan di lapangan adalah agenda dan kehendak-Nya. Sesuatu yang lazim untuk dilakukan manusia, saat melakukan upaya-upaya penerapan hukum syari'ah melalui jalur kultur budaya religi adalah, tawakal dan bergantung hanya kepada Allah SWT Yang Mahakuasa. Dengan begitu, keshalehan umat, ketaatan beragama, bangsa yang berbudi dan berbudaya luhur, negeri yang makmur, sejahtera, aman dan sentosa, semoga dapat segera terwujud.
Kesimpulan
Dinamika Hukum Islam, temyata di dalamnya terdapat beberapa hal yang cukup menarik untuk dicermati, diantaranya:
1. Allah SWT, walau memiliki otoritas absolut atas hamba-hamba-Nya, namun sangat menghargai hamba-Nya ketika Dia menetapkan hukum syari'ah dengan melibatkan ummat dalam memproses hukum-Nya.
2. Allah SWT menerapkan pendekatan partisipatif dengan memposisikan umat sebagai subjek-aktif yang dihargai, dan bukan sebagai objek-pasif yang didikte. Keterlibatan ini berlangsung mulai dari memproses hukum, memilih altematif hukum sampai pada saat penerapan hukum syari'ah, padahal mereka adalah hamba-Nya.
3. Keberadaan karakter dan dinamika yang terdapat dalam hukum Islam, sebenamya memberi peluang emas yang seluas-luasnya kepada umat Islam untuk dapat lebih pro-aktif berkreasi dengan sang at fleksibel tanpa kaku di dalam penerapan hukum syari'ah yang berpijak pada kemampuan, kondisi budaya lokal serta kondisi zaman dimana umat Islam berada. Dan tentunya termasuk kita sebagai umat Islam yang hidup berdampingan dengan umat agama lainnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945.
Bagi sebagian orang yang kurang memahami hubungan antara agama dan budaya, terutama kurang bisa membedakan antara hal-hal yang bersifat normatif agama dan budaya ketika Islam diterapkan oleh Rasul SAW di lingkungan bangsa dan budaya Arab. Maka dalam penerapan Islam-nya di Indonesia yang terjadi adalah Arabisasi Indonesia atas nama Agama. Padahal, sesuai dengan Karakter dan Dinamika Hukum Islam, ketika nilai-nilai agama Islam diterapkan pada suku Sunda, maka lahirlah Budaya Sunda Islami, begitu juga dengan Budaya Jawa Islami, Budaya Bugis Islami dan seterusnya.
Bid'ah
Setelah adanya uraian singkat tapi cukup jelas pada halaman sebelum ini mengenai faham Salafi/Wahabi dan pengikutnya, marilah kita teruskan mengupas apa yang dimaksud Bid’ah menurut syari’at Islam serta wejangan/ pandangan para ulama pakar tentang masalah ini. Dengan demikian insya Allah buat kita lebih jelas bidáh mana yang dilarang dan yang dibolehkan dalam syari’at Islam.
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulallah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulallah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11 hal.61). Selain hadits ini masih beredar lagi hadits-hadits yang semakna yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud dan dari Abu Hurairah [ra].
Sekalipun hadits ini berkaitan dengan soal shadaqah namun kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasar kan keumuman lafadh, bukan berdasarkan kekhususan sebab’.
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw. berarti Jalan Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. . Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .
Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah swt. Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengata- kan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulallah saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw. dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulallah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulallah saw., itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulallah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulallah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulallah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak diperintah- kan secara khusus oleh Rasulallah saw.! Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa Rasulallah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya.(silahkan baca halaman selanjutnya). Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakan- nya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukan- nya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulallah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka berpedoman pada firman Allah swt. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulallah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw, dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid’ah, maka hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja- kan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulallah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’ ) yang dilakukan oleh para sahabat- nya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulallah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw. dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah selain haram.
Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ.
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafiy, Imam Ibnul-‘Arabiy, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa bid’ah itu adalah segala praktek baik termasuk dalam ibadah ritual maupun dalam masalah muamalah, yang tidak pernah terjadi di masa Rasulullah saw. Meski namanya bid’ah, namun dari segi ketentuan hukum syari’at,, hukumnya tetap terbagi menjadi lima perkara sebagaimana hukum dalam fiqih. Ada bid’ah yang hukumnya haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah.
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Sedangkan menurut catatan As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki Al-Hasani (salah seorang ulama Mekkah) dalam makalahnya yang berjudul Haulal-Ihtifal Bil Maulidin Nabawayyisy Syarif ( Sekitar Peringatan Maulid Nabi Yang Mulia) bahwa menurut ulama (diantraranya Imam Nawawi dalam Syarah Muslim jilid 6/154—pen.) bid’ah itu dibagi menjadi lima bagian yaitu :
1. Bid’ah wajib; seperti menyanggah orang yang menyelewengkan agama, dan belajar bahasa Arab, khususnya ilmu Nahwu.
2. Bid’ah mandub/baik; seperti membentuk ikatan persatuan kaum muslimin, mengadakan sekolah-sekolah, mengumandangkan adzan diatas menara dan memakai pengeras suara, berbuat kebaikan yang pada masa pertumbuh an Islam belum pernah dilakukan.
3. Bid’ah makruh; menghiasi masjid-masjid dengan hiasan-hiasan yang bukan pada tempatnya, mendekorasikan kitab-kitab Al-Qur’an dengan lukisan-lukisan dan gambar-gambar yang tidak semestinya.
4. Bid’ah mubah; seperti menggunakan saringan (ayakan), memberi warna-warna pada makanan (selama tidak mengganggu kesehatan) dan lain sebagainya.
5. Bid’ah haram; semua perbuatan yang tidak sesuai dengan dalil-dalil umum hukum syari’at dan tidak mengandung kemaslahatan yang dibenarkan oleh syari’at.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih berma’mum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’.
c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagai- nya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam.
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw… Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, raket-raket dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru seperti mengada kan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memper- ingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidup- nya Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana telah penulis cantumkan sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta para ulama lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulallah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya.
Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung ’Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelum- nya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar).
Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.. Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya. Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan keneraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebut- kan: Yang dikatakan oleh orang fanatik (extreem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar’i (Rasulallah saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah swt. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung’. (Ali Imran (3) : 104).
Allah swt. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;
وَعَنْ أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ(رواه مسلم) ‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. ( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulallah saw. bersabda:
‘Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengamalkannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun” .
Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulallah saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulallah saw dan Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama!!
Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulallah saw. berikut ini:
“Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulallah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulallah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan kaum awamyang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulallah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah “ . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw, para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah swt. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulallah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri. Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.
Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita sekarang rujuk hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai amal kebaikan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah swt. atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah dengan adanya beberapa hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan, diajarkan atau diperintah- kan oleh Rasulallah saw. selama hal ini tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama dan mendapat pahala.
a. Hadits dari Abu Hurairah: “Rasulallah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulallah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah swt. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulallah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
b. Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulallah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
c. Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulallah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulallah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulallah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287 mengatakan: ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasa- an yang telah ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk mengetahui makna al-bid’ah
d. Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulallah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantara- mu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulallah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
e. Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada suatu saat Rasulallah saw. menugas- kan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulallah saw. Beliau saw.menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulallah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukainya’ “.
Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah saw.. Itu hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulallah saw. tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.
f. Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau meng- imami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulallah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulallah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulallah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulallah saw. menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’. Selanjutnya ia menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin Rasulallah saw. akan menyuruhnya supaya belajar menghafal Surah-surah selain yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulallah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat’. Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan, bahwa orang boleh membaca berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupa- kan suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulallah saw. Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. bila tidak keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada Allah swt.
g. Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu kepada Rasulallah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulallah saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits tersebut diriwayat- kan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.
h. Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulallah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulallah saw. bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat meng- gembirakan dari Rasulallah saw. itu disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan ketentu- an syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.
i. Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulallah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab sese- orang dari kaum; Wahai Rasulallah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulallah saw. terhadap prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulallah saw. tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Yang lebih mengherankan lagi ialah ada golongan yang bependapat lebih jauh lagi yaitu menganggap do’a qunut waktu sholat shubuh sebagai bid’ah. Padahal do’a tersebut berasal dari hadits Rasulallah saw. sendiri yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i dan selain mereka dari Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib kw. juga oleh Al Baihaqi dari Ibnu Abbas.
Sedangkan waktu dan tempat berdirinya untuk membaca do’a qunut pada waktu sholat Shubuh, ini juga berdasarkan hadits-hadits yang diketengahkan oleh Anas bin Malik; Awam bin Hamzah; Abdullah bin Ma’qil; Barra’ (ra) yang diriwayatkan oleh sekolompok huffaz dan mereka juga ikut menshahih-kannya serta para ulama lainnya diantaranya Hafiz Abu Abdillah Muhammad Ali al-Bakhi, Al Hakim Abu Abdillah, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Baihaqi dan Daraquthni dan lain lain).
Bagaimana mungkin do’a qunut yang berasal dari Nabi saw. tersebut dikatakan bid’ah sedangkan tambahan-tambahan kalimat dalam sholat yang tersebut diatas atas prakarsanya para sahabat sendiri tidak dipersalahkan oleh Nabi saw. malah diridhoi dan diberi kabar gembira bagi yang membaca nya ?
j. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah swt. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulallah saw.. Setiba dihadapan Rasulallah saw, mereka menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulallah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulallah saw. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)
k. Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulallah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulallah saw.. Semuanya itu diridhoi oleh Rasulallah saw. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulallah saw. sebelum atau sesudahnya. Karena semua itu bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan mereka diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad. Dengan demikian hadits-hadits diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal kebaik- an selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulallah saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulallah saw.
Mungkin ada orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut kesanggupannya masing-masing dalam menguasai ilmu pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal sekarang ini. Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau saw. berpendapat bahwa pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Allah swt., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukakan kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah swt. membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan diperintahkan supaya melaksana- kan pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu pekerjaan yang baik! Untuk lebih detail keterangannya silahkan membaca riwayat hadits ini yang dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya jilid 4 halaman 243 mengenai pengitaban ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu Rasulallah saw masih hidup. Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sendiri masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah Allah swt. dan Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi saw. membenarkan dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami kemuka kan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah, karena Rasulallah saw. membenarkan serta meridhoi atas kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun Nabi saw. belum menetapkan atau memerintahkan amalan-amalan tersebut. Begitu juga prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulallah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah swt. dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulallah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ (رواه البخاري
‘Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya) karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulallah saw. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah swt. atas pemahaman mereka semacam ini.
Dalil-dalil yang membantah dan jawabannya
Hanya orang-orang egois, fanatik dan mau menangnya sendiri sajalah yang mengingkari hal tersebut. Seperti yang telah kemukakan sebelum ini bahwa golongan pengingkar ini selalu menafsirkan Al-Qur’an dan Sunnah secara tekstual oleh karenanya sering mencela semua amalan yang tidak sesuai dengan paham mereka.
Misalnya, mereka melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil hadits Rasulallah saw. berikut ini :
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةُ
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’.Juga hadits Nabi saw.:
مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
‘Barangsiapa yang didalam agama kami mengadakan sesuatu yang tidak dari agama ia tertolak’.
Hadits-hadits tersebut oleh mereka dipandang sebagai pengkhususan hadits Kullu bid’atin dhalalah yang bersifat umum, karena terdapat penegasan dalam hadits tersebut, yang tidak dari agama ia tertolak, yakni dholalah/ sesat. Dengan adanya kata Kullu (setiap/semua) pada hadits diatas ini tersebut mereka menetapkan apa saja yang terjadi setelah zaman Rasul- Allah saw. serta sebelumnya tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw adalah bi’dah dholalah. Mereka tidak memandang apakah hal yang baru itu membawa maslahat/kebaikan dan termasuk yang dikehendaki oleh agama atau tidak. Mereka juga tidak mau meneliti dan membaca contoh-contoh hadits diatas mengenai prakarsa para sahabat yang menambahkan bacaan-bacaan dalam sholat yang mana sebelum dan sesudahnya tidak pernah diperintahkan Rasulallah saw.. Mereka juga tidak mau mengerti bahwa memperbanyak kebaikan adalah kebaikan. Jika ilmu agama sedangkal itu orang tidak perlu bersusah-payah memperoleh kebaikan.
Ada lagi kaidah yang dipegang dan sering dipakai oleh golongan pengingkar dan pelontar tuduhan-tuduhan bid’ah mengenai suatu amalan, adalah kata-kata sebagai berikut:
“Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya tidak ada satupun diantara mereka yang mengerja- kannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, mengapa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulallah, sahabat dan para tabi’in?”
Atau ucapan mereka : “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf..? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar ini juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru termasuk tahlilan, peringatan Maulid Nabi saw dan sebagainya. Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, mungkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.
Ucapan mereka seperti diatas ini adalah ucapan yang awalnya haq/benar namun akhirnya batil atau awalnya shohih namun akhirnya fasid. Yang benar adalah keadaan Nabi saw. atau para sahabat yang tidak pernah mengamal- kannya (umpamanya; berkumpul untuk tahlilan, peringatan keagamaan dan lain sebagainya). Sedangkan yang batil/salah atau fasid adalah penghukum- an mereka terhadap semua perbuatan amalan yang baru itu dengan hukum haram, sesat, syirik, mungkar dan sebagainya.
Yang demikian itu karena Nabi saw. atau salafus sholih yang tidak mengerja- kan satu perbuatan bukanlah termasuk dalil, bahkan penghukuman dengan berdasarkan kaidah diatas tersebut adalah penghukuman tanpa dalil/nash. Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an maupun hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi tidak bisa suatu perbuatan diharam- kan hanya karena Nabi saw. atau salafus sholih tidak pernah melakukannya.
Telitilah lagi hadits-hadits diatas yakni amalan-amalan bid’ah para sahabat yang belum pernah dikerjakan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapinya. Penanggapan Rasul- Allah saw. inilah yang harus kita contoh !
Demikian pula para ulama mengatakan’ bahwa amalan ibadah itu bila tidak ada keterangan yang valid dari Rasulullah saw., maka amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada beliau saw. !!
Jelas disini para ulama tidak mengatakan bahwa suatu amalan ibadah tidak boleh diamalkan karena tidak ada keterangan dari beliau saw., mereka hanya mengatakan amalan itu tidak boleh dinisbahkan kepada Rasulallah saw. bila tidak ada dalil dari beliau saw. !
Kalau kita teliti perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca dikitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau dipalsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama ber- pedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. tetapi berbeda cara penguraiannya.
Tidak lain semuanya, karena status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada yang mengatakannya. Dari sini saja kita sudah bisa ambil kesimpul an; Kalau hukum atas derajat suatu hadits itu masih berbeda-beda diantara para ulama, tentu saja ketika para ulama mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah saw. pun berbeda juga !!
Para ulama pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian banyak hadits yang berserakan. Umpamanya mereka berbeda dalam meng- ambil kesimpulan hukum atas suatu amal, walaupun amal ini disebutkan didalam suatu hadits yang shohih. Para ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulallah saw., umpama- nya; Sunnah Qauliyyah, Sunnah Fi’liyyah dan Sunnah Taqriyyah.
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. sendiri menganjur-kan atau mensarankan suatu amalan, tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa Rasulllah saw. pernah mengerjakannya secara langsung. Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulallah saw. yang dalilnya/riwayat- nya sampai kepada kita bukan dengan cara dicontohkan, melainkan dengan diucapkan saja oleh beliau saw. Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji pahala dan sebagainya.
Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits Rasulallah saw. yang menganjurkan orang untuk belajar berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulallah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh Rasulallah saw. Misalnya ibadah shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan tangan kanan dan lain sebagainya. Para shahabat melihat langsung beliau saw. melakukannya, kemudian meriwayatkannya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah kami kemukakan sebelumnya.
Begitu juga dengan amalan-amalan ibadah yang belum pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw. atau para sahabatnya, tetapi diamalkan oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama belakangan) misalnya mengadakan majlis maulidin Nabi saw., majlis tahlilan/ yasinan dan lain sebagainya (baca keterangannya pada bab Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalkan ini mengambil dalil-dalil baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulallah saw. yang menganjurkan agar manusia selalu berbuat kebaikan atau dalil-dalil tentang pahala-pahala bacaan dan amalan ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya semuanya mustahab asalkan tidak tidak bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Apalagi didalam majlis-majlis (maulidin-Nabi, tahlilan/yasinan, Istighotsah) yang sering diteror oleh golongan tertentu, disitu sering didengungkan kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulallah saw. yang semuanya itu dianjurkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya. Semuanya ini mendekatkan/taqarrub kita kepada Allah swt.!!
Mari kita rujuk ayat al-Qur’an:وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
‘Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak mengerjakan sesuatu itu adalah apabila telah tegas dan jelas larangannya dari Rasulallah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Bukhori:
فَاجْتَنِبُوْهُ اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua hadits yang telah kami kemukakan Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah… dan hadits Barangsiapa yang didalam agama… adalah tidak benar, karena adanya beberapa keterangan dari Rasulallah saw. didalam hadits-hadits yang lain dimana beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintahkan. Maka para ulama menarik kesimpulan bahwa bid’ah (prakarsa) yang dianggap sesat ialah yang mensyari’atkan sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah swt. (QS Asy-Syura :21) serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulallah saw., contohnya yang mudah ialah:
Sengaja sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja; Melaku kan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain sebagai- nya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulallah saw. diatas yang mengatakan, mengada-adakan sesuatu itu…. adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Saya ambil perumpamaan lagi yang mudah saja, ada orang mengatakan bahwa sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalangan karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama. Jadi bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatkan Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا افْتَرَطْتُ عَلَيْهِ,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ أِلَيَّ بِالنّـَوَافِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي يُبْصِرُبِهِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَهُ اَلَّتِي يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْنَّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذَنِي لاُعِيْذَنَّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatkan diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai daripada yang telah Kuwajibkan kepadanya, dan selagi hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan nawafil (amalan-amalan atau sholat sunnah) sehingga Aku mencintainya, maka jika Aku telah mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya dan dengan itu ia mendengar, Akulah yang menjadi penglihatannya dan dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul (musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindungan kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah swt. mencintai orang-orang yang menambah amalan sunnah disamping amalan wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu yang mana kata ini tidak harus berarti semua/setiap, tapi bisa berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah swt dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba Allah yang sholeh), sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin yang bermata pencaharian dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas semua perahu”.
Ayat ini menunjukkan tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/seorang hamba yang sholeh sengaja membocorkan perahu orang-orang miskin itu agar terlihat sebagai perahu yang cacat/jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu. Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah safiinah hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah (semua/setiap perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah swt.berfirman : “Angin taufan itu telah menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gunung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah swt.berfirman : “Ratu Balqis itu telah diberikan segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi Sulaiman as.
Begitupun juga dalam surat An-Najm ayat 39 Allah swt.berfirman: “Bahwasa- nya setiap manusia itu tidak memperoleh selain apa yang telah diusaha- kannya”. Kalimat ‘selain apa yang telah diusahakannya’ pada ayat ini bersifat umum, namun keumumannya itu tidak terpakai karena banyak sekali hadits-hadits shohih yang menunjukkan bahwa seorang muslim yang telah meninggal masih dapat memperoleh kebaikan dan manfaat dari muslim yang lain seperti sholat jenazah, do’a, sedekah dan lain-lain.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah swt. berfirman : “Agar setiap manusia menerima balasan atas apa yang telah diusahakannya”. Kalimat ‘apa yang telah diusahakannya’ mencakup semua amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah swt. tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Aali ‘Imran : 173 Allah swt. berfirman mengenai suatu peristiwa dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang mengatakan bahwa semua orang (di Mekkah) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang….” Yang dimaksud semua orang (an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara harfiahnya, tetapi hanya untuk kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang memerangi Rasulallah saw. dan kaum Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah adalah umpan neraka jahannam..”. Ayat ini sama sekali tidak boleh ditafsirkan bahwa Nabi ‘Isa as dan bundanya yang dipertuhankan oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”. Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah swt. tidak memerintahkan Rasul-Nya supaya memusyawarahkan soal-soal keagamaan atau keukhrawian dengan para sahabatnya atau dengan ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak membukakan pintu rahmat bagi mereka (orang-orang kafir durhaka). Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan seterusnya “. Firman Allah ini bersifat umum, sebab Allah swt. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-manusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi tidak menggunakannya untuk mendengarkan firman-firman Allah; mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi (QS.Al-A’raf : 179).
Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia, tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang walaupun didalamnya terdapat keumuman namun ternyata keumumannya itu tidak terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulallah saw. bersabda: “Orang yang menunaikan sholat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. Hadits ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya !
Ibnu Hajar mengatakan; ‘ Hadits-hadits shahih yang mengenai satu persoal- an harus dihubungkan satu sama lain untuk dapat diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang muqayyad. Dengan demikian maka semua yang di-isyaratkan oleh hadits-hadits itu semuanya dapat dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam Al-Muwattha terdapat penegasan Rasulallah saw. yang menyatakan bahwa jasad semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr rh. dalam At-Tamhid mengatakan: Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi dalam hadits yang lain Rasulallah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih banyak contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun Hadits. Banyak sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang lain dikhususkan maksud dan maknanya, demikian pula banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya sehingga ada sekelompok ulama mengatakan; ‘Hal yang umum hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan-kekhususannya’.
Begitu juga halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarkan dalil hadits lainnya maka disimpulkanlah bahwa tidak semua bid’ah (prakarsa) itu dholalah/sesat ! Mereka juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadatan saja. Allah swt. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun yang sayyiah/buruk.
Banyak kenyataan membuktikan, bahwa Rasulallah saw. membenarkan dan meirdhoi macam-macam perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Silahkan baca kembali hadits-hadits yang telah kami kemukakan diatas. Bagaimanakah cara kita memahami semua persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang lebih jelas uraiannya (yang menganjurkan manusia selalu berbuat kebaikan) ? Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama. Untuk itu tidak ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukkan oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu sebagaimana yang telah dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan lain-lain.
Insya Allah dengan keterangan singkat tentang hadits-hadits Rasulallah saw. masalh Bid’ah, akan bisa membuka pikiran kita untuk mengetahui bid’ah mana yang haram dan bid’ah yang Hasanah/baik. Untuk lebih lengkapnya keterangan yang saya kutip dalam hal bid’ah ini, silahkan membaca buku Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah oleh H.M.H Al-HAMID - AL-HUSAINI.
Qadha (penggantian) Sholat yang ketinggalan dan dalil-dalil yang berkaitan dengannya :
Sebagian golongan muslimin telah membid’ahkan, mengharamkan/mem batalkan mengqadha/mengganti sholat yang sengaja tidak dikerjakan pada waktunya. Mereka ini berpegang pada wejangan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan tidak sah orang yang ketinggalan sholat fardhu dengan sengaja untuk menggantinya/qadha pada waktu sholat lainnya, mereka harus menambah sholat-sholat sunnah untuk menutupi kekurangan- nya tersebut. Tetapi pendapat Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah ini telah terbantah oleh hadits-hadits dibawah ini dan ijma’ (kesepakatan) para ulama pakar diantaranya Imam Hanafi, Malik dan Imam Syafi’i dan lainnya tentang kewajiban qadha bagi yang meninggalkan sholat baik dengan sengaja maupun tidak sengaja. Mari kita ikuti beberapa hadits tentang qadha sholat berikut ini :
1). HR.Bukhori, Muslim dari Anas bin Malik ra.: “Siapa yang lupa (melaksanakan) suatu sholat atau tertidur dari (melaksanakan)nya, maka kifaratnya (tebusannya) adalah melakukannya jika dia ingat”. Ibnu Hajr Al-‘Asqalany dalam Al-Fath II:71 ketika menerangkan makna hadits ini berkata; ‘Kewajiban menggadha sholat atas orang yang sengaja meninggalkannya itu lebih utama. Karena hal itu termasuk sasaran Khitab (perintah) untuk melaksanakan sholat, dan dia harus melakukannya…’.
Yang dimaksud Ibnu Hajr ialah kalau perintah Rasulallah saw. bagi orang yang ketinggalan sholat karena lupa dan tertidur itu harus diqadha, apalagi untuk sholat yang disengaja ditinggalkan itu malah lebih utama/wajib untuk menggadhanya. Maka bagaimana dan darimana dalilnya orang bisa mengatakan bahwa sholat yang sengaja ditinggalkan itu tidak wajib/tidak sah untuk diqadha ?
Begitu juga hadits itu menunjukkan bahwa orang yang ketinggalan sholat karena lupa atau tertidur tidak berdosa hanya wajib menggantinya. Tetapi orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dia berdosa besar karena kesengajaannya meninggalkan sholat, sedangkan kewajiban qadha tetap berlaku baginya.
2). Rasulallah saw. setelah sholat Dhuhur tidak sempat sholat sunnah dua raka’at setelah dhuhur, beliau langsung membagi-bagikan harta, kemudian sampai dengar adzan sholat Ashar. Setelah sholat Ashar beliau saw. sholat dua rakaat ringan, sebagai ganti/qadha sholat dua rakaat setelah dhuhur tersebut. (HR.Bukhori, Muslim dari Ummu Salamah).
3). Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa tertidur atau terlupa dari mengerjakan shalat witir maka lakukanlah jika ia ingat atau setelah ia terbangun’. (HR.Tirmidzi dan Abu Daud).(dikutip dari at-taj 1:539)
4). Rasulallah saw. bila terhalang dari shalat malam karena tidur atau sakit maka beliau saw. menggantikannya dengan shalat dua belas rakaat diwaktu siang. (HR. Muslim dan Nasa’i dari Aisyah ra).(dikutip dari at-taj 1:539)
Nah alau sholat sunnah muakkad setelah dhuhur, sholat witir dan sholat malam yang tidak dikerjakan pada waktunya itu diganti/diqadha oleh Rasulallah saw. pada waktu setelah sholat Ashar dan waktu-waktu lainnya, maka sholat fardhu yang sengaja ketinggalan itu lebih utama diganti dari- pada sholat-sholat sunnah ini.
5). HR Muslim dari Abu Qatadah, mengatakan bahwa ia teringat waktu safar pernah Rasulallah saw. ketiduran dan terbangun waktu matahari menyinari punggungnya. Kami terbangun dengan terkejut. Rasulallah saw. bersabda: Naiklah (ketunggangan masing-masing) dan kami menunggangi (tunggang- an kami) dan kami berjalan. Ketika matahari telah meninggi, kami turun. Kemudian beliau saw. berwudu dan Bilal adzan utk melaksanakan sholat (shubuh yang ketinggalan). Rasulallah saw. melakukan sholat sunnah sebelum shubuh kemudian sholat shubuh setelah selesai beliau saw. menaiki tunggangannya.
Ada sementara yang berbisik pada temannya; ‘Apakah kifarat (tebusan) terhadap apa yang kita lakukan dengan mengurangi kesempurnaan shalat kita (at-tafrith fi ash-sholah)? Kemudian Rasulallah saw. bersabda: ’Bukan kah aku sebagai teladan bagi kalian’?, dan selanjutnya beliau bersabda : ‘Sebetulnya jika karena tidur (atau lupa) berarti tidak ada tafrith (kelalaian atau kekurangan dalam pelaksanaan ibadah, maknanya juga tidak berdosa). Yang dinamakan kekurangan dalam pelaksanaan ibadah (tafrith) yaitu orang yang tidak melakukan (dengan sengaja) sholat sampai datang lagi waktu sholat lainnya….’. (Juga Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Imaran bin Husain dengan kata-kata yang mirip, begitu juga Imam Bukhori dari Imran bin Husain).
Hadits ini tidak lain berarti bahwa orang yang dinamakan lalai/meng- gampangkan sholat ialah bila meninggalkan sholat dengan sengaja dan dia berdosa, tapi bila karena tertidur atau lupa maka dia tidak berdosa, kedua-duanya wajib menggadha sholat yang ketinggalan tersebut. Dan dalam hadits ini tidak menyebutkan bahwa orang tidak boleh/haram menggadha sholat yang ketinggalan kecuali selain dari yang lupa atau tertidur, tapi hadits ini menyebutkan tidak ada kelalaian (berdosa) bagi orang yang meninggal- kan sholat karena tertidur atau lupa. Dengan demikian tidak ada dalam kalimat hadits larangan untuk menggadha sholat !
6). Jabir bin Abdullah ra.meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab ra. pernah datang pada hari (peperangan) Khandaq setelah matahari terbenam. Dia mencela orang kafir Quraisy, kemudian berkata; ‘Wahai Rasulallah, aku masih melakukan sholat Ashar hingga (ketika itu) matahari hampir terbenam’. Maka Rasulallah saw. menjawab : ‘Demi Allah aku tidak (belum) melakukan sholat Ashar itu’. Lalu kami berdiri (dan pergi) ke Bith-han. Beliau saw. berwudu untuk (melaksanakan) sholat dan kami pun berwudu untuk melakukannya. Beliau saw. (melakukan) sholat Ashar setelah matahari terbenam. Kemudian setelah itu beliau saw. melaksanakan sholat Maghrib. (HR.Bukhori dalam Bab ‘orang yg melakukan sholat bersama orang lain secara berjama’ah setelah waktunya lewat’, Imam Muslim I ;438 hadits nr. 631, meriwayatkannya juga, didalam Al-Fath II:68, dan pada bab ‘meng- gadha sholat yang paling utama’ dalam Al-Fath Al-Barri II:72)
7). Begitu juga dalam kitab Fiqih empat madzhab atau Fiqih lima madzhab bab 25 sholat Qadha’ menulis: Para ulama sepakat (termasuk Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan lainnya) bahwa barangsiapa ketinggalan shalat fardhu maka ia wajib menggantinya/menggadhanya. Baik shalat itu ditinggal- kannya dengan sengaja, lupa, tidak tahu maupun karena ketiduran.
Memang terdapat perselisihan antara imam madzhab (Hanafi, Malik, Syafi’i dan lainnya), perselisihan antara mereka ini ialah apakah ada kewajiban qadha atas orang gila, pingsan dan orang mabuk.
8). Dalam kitab fiqih Sunnah Sayyid Sabiq (bahasa Indonesia) jilid 2 hal. 195 bab Menggadha Sholat diterangkan: Menurut madzhab jumhur termasuk disini Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i mengatakan orang yang sengaja meninggalkan sholat itu berdosa dan ia tetap wajib meng- gadhanya. Yang menolak pendapat qadha dan ijma’ ulama ialah Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah, mereka ini membatalkan (tidak sah) untuk menggadha sholat !! Dalam buku ini diterangkan panjang lebar alasan dua imam ini. (Tetapi alasan dua imam ini terbantah juga oleh hadits-hadits diatas dan ijma’ para ulama pakar termasuk disini Imam Hanafi, Malik, Syafi’i dan ulama pakar lainnya yang mewajibkan qadha atas sholat yang sengaja ditinggal- kan. Mereka ini juga bathil dari sudut dalil dan berlawanan dengan madzhab jumhur—pen.).
Kesimpulan :
Kalau kita baca hadits-hadits diatas semuanya masalah qadha sholat, dengan demikian buat kita insya Allah sudah jelas bahwa menggadha/meng- gantikan sholat yang ketinggalan baik secara disengaja maupun tidak disengaja menurut ijma’ ulama hukumnya wajib, sebagaimana yang diutarakan oleh ulama-ulama pakar yang telah diakui oleh ulama-ulama dunia yaitu Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Syafi’i. Hanya perbedaan antara yang disengaja dan tidak disengaja ialah masalah dosanya jadi bukan masalah qadhanya.
Semoga dengan adanya dalil-dalil yang cukup jelas ini bisa menjadikan manfaat bagi kita semua. Semoga kita semua tidak saling cela-mencela atau merasa pahamnya/anutannya yang paling benar.
Sholat sunnah Qabliyah (sebelum) sholat Jum’at
Sebagian orang telah membid’ahkan sholat sunnah qabliyah jum’at ini. Menurut pandangan mereka hal ini tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw. atau para sahabat. Padahal kalau kita teliti cukup banyak hadits serta wejangan ulama pakar ahli fiqih dalam madzhab Syafi’i dan lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan sunnah- nya sholat qabliyah jum’at ini. Mari kita ikuti hadits-hadits yang berkaitan dengan sholat sunnah diantaranya :
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim : “Dari Abdullah bin Mughaffal al-Muzanni, ia berkata; Rasulallah saw. bersabda: ‘Antara dua adzan itu terdapat shalat’”. Menurut para ulama yang dimaksud antara dua adzan ialah antara adzan dan iqamah.
Mengenai hadits ini tidak ada seorang ulamapun yang meragukan keshohih- annya karena dia disamping diriwayatkan oleh Bukhori Muslim juga diriwayat kan oleh Ahmad dan Abu Ya’la dalam kitab Musnadnya. Dari hadits ini saja kita sudah dapat memahami bahwa Nabi saw. menganjurkan supaya diantara adzan dan iqamah itu dilakukan sholat sunnah dahulu, termasuk dalam katergori ini sholat sunnah qabliyah jum’at. Tetapi nyatanya para golongan pengingkar tidak mengamalkan amalan sunnah ini karena mereka anggap amalan bid’ah.
Riwayat dalam sunan Turmudzi II/18: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud bahwasanya beliau melakukan shalat sunnah qabliyah jum’at sebanyak empat raka’at dan sholat ba’diyah (setelah) jum’at sebanyak empat raka’at pula”.
Abdullah bin Mas’ud merupakan sahabat Nabi saw. yang utama dan tertua, dipercayai oleh Nabi sebagai pembawa amanah sehingga beliau selalu dekat dengan nabi saw. Beliau wafat pada tahun 32 H. Kalau seorang sahabat Nabi yang utama dan selalu dekat dengan beliau saw. mengamal- kan suatu ibadah, maka tentu ibadahnya itu diambil dari sunnah Nabi saw.
Penulis kitab Hujjatu Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah setelah mengutip riwayat Abdullah bin Mas’ud tersebut mengatakan: “Secara dhohir (lahiriyah) apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud itu adalah berdasarkan petunjuk langsung dari Nabi Muhammad saw.”
Dalam kitab Sunan Turmudzi itu dikatakan pula bahwa Imam Sufyan ats-Tsauri dan Ibnul Mubarak beramal sebagaimana yang diamalkan oleh Abdullah bin Mas’ud ( Al-Majmu’ 1V/10).
Hadits riwayat Abu Daud: “Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya ia senantiasa memanjangkan shalat qabliyyah jum’at. Dan ia juga melakukan shalat ba’diyyah jum’at dua raka’at. Ia menceriterakan bahwasanya Rasulallah saw. senantiasa melakukan hal yang demikian”.(Nailul Authar III/313).
Penilaian beberapa ulama mengenai hadits terakhir diatas ialah: Imam Syaukani berkata: ‘Menurut Hafidz al-Iraqi, hadits Ibnu Umar itu isnadnya shohih’. ; Hafidz Ibnu Mulqin dalam kitabnya yang berjudul Ar-Risalah berkata: ‘Isnadnya shohih tanpa ada keraguan’. ; Imam Nawawi dalam Al-Khulashah mengatakan : ‘Hadits tersebut shohih menurut persyaratan Imam Bukhori. Juga telah dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam shohihnya’.
Hadits riwayat Ibnu Majah : “Dari Abu Hurairah dan Abu Sufyan dari Jabir, keduanya berkata; Telah datang Sulaik al-Ghathfani diketika Rasulallah saw. tengah berkhutbah (khotbah jum’at). Lalu Nabi saw bertanya kepada- nya: ‘Apakah engkau sudah shalat dua raka’at sebelum datang kesini ?’ Dia menjawab; Belum. Nabi saw. bersabda; ‘Shalatlah kamu dua raka’at dan ringkaskan shalatmu itu’ “. (Nailul Authar III/318).
Jelas sekali dalam hadits ini bagaimana Rasulallah saw. menganjurkan (pada orang itu) shalat sunnah qabliyyah jum’at dua raka’at sebelum duduk mendengarkan khutbah. Juga dalam menerangkan hadits ini Syeikh Syihabuddin al-Qalyubi wafat 1070H mengatakan; bahwa hadits ini nyata dan jelas berkenaan dengan shalat sunnah qabliyah jum’at, bukan shalat tahiyyatul masjid. Hal ini dikarenakan tahiyyatul masjid tidak boleh dikerjakan dirumah atau diluar masjid melainkan harus dikerjakan di masjid.
Syeikh Umairoh berkata: Andai ada orang yang mengatakan bahwa yang disabdakan oleh Nabi itu mungkin sholat tahiyyatul masjid, maka dapat dijawab “Tidak Mungkin”. Sebab shalat tahiyyatul masjid tidak dapat dilaku- kan diluar masjid, sedangkan nabi saw. (waktu itu) bertanya; Apakah engkau sudah sholat sebelum (dirumahnya) datang kesini ? (Al-Qalyubi wa Umairoh 1/212).
Begitu juga Imam Syaukani ketika mengomentari hadits riwayat Ibnu Majah tersebut mengatakan dengan tegas :
Sabda Nabi saw. ‘sebelum engkau datang kesini’ menunjukkan bahwa sholat dua raka’at itu adalah sunnah qabliyyah jum’at dan bukan sholat sunnah tahiyyatul masjid“.(Nailul Authar III/318)
Mengenai derajat hadits riwayat Ibnu Majah itu Imam Syaukani berkata ; ‘Hadits Ibnu Majah ini perawi-perawinya adalah orang kepercayaan’. Begitu juga Hafidz al-Iraqi berkata: ‘Hadits Ibnu Majah ini adalah hadits shohih’.
Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Thabrani: “Dari Abdullah bin Zubair, ia berkata, Rasulallah saw. bersabda : ‘Tidak ada satupun sholat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “. Menurut kandungan hadits ini jelas bahwa disunnahkan juga shalat qabliyyah jum’at sebelum sholat fardhu jum’at dikerjakan.
Mengenai derajat hadits ini Imam Hafidz as-Suyuthi mengatakan : ‘Ini adalah hadits shohih’ dan Ibnu Hibban berkata ; ‘Hadits ini adalah shohih’. Sedang- kan Syeikh al-Kurdi berkata: “Dalil yang paling kuat untuk dijadikan pegang- an dalam hal disyariatkannya sholat sunnah dua raka’at qabliyyah jum’at adalah hadits yang dipandang shohih oleh Ibnu Hibban yakni hadits Abdullah bin Zubair yang marfu’ (bersambung sanadnya sampai kepada Nabi saw.) yang artinya: ‘Tidak ada satupun shalat yang fardhu kecuali disunnahkan sebelumnya shalat dua raka’at’ “.
Demikianlah beberapa hadits yang shohih diatas sebagai dalil disunnah- kannya sholat qabliyyah jum’at. Sedangkan kesimpulan beberapa ulama ahli fiqih khususnya dalam madzhab Syafi’i tentang hukum sholat sunnah qabliyyah jum’at yang tertulis dalam kitab-kitab mereka ialah :
Hasiyah al-Bajuri 1/137 :
“Shalat jum’at itu sama dengan shalat Dhuhur dalam perkara yang disunnahkan untuknya. Maka disunnahkan sebelum jum’at itu empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Al-Majmu’ Syarah Muhazzab 1V/9 :
“Disunnahkan shalat sebelum dan sesudah jum’at. Minimalnya adalah dua raka’at qabliyyah dan dua raka’at ba’diyyah (setelah sholat jum’at). Dan yang lebih sempurna adalah empat raka’at qabliyyah dan empat raka’at ba’diyyah’.
Iqna’ oleh Syeikh Khatib Syarbini 1/99 :
“Jum’at itu sama seperti shalat Dhuhur.Disunnahkan sebelumnya empat raka’at dan sesudahnya juga empat raka’at”.
Minhajut Thalibin oleh Imam Nawawi :
“Disunnahkan shalat sebelum Jum’at sebagaimana shalat sebelum Dzuhur”.
Begitu juga masih banyak pandangan ulama pakar berbagai madzhab mengenai sunnahnya sholat qabliyyah jum’at ini.
Dengan keterangan-keterangan singkat mengenai kesunnahan sholat qabliyyah jum’at, kita akan memahami bahwa ini semua adalah sunnah Rasulallah saw., bukan sebagai amalan bid’ah. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt.
Keterangan singkat mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a
Sebagian golongan ada yang membid’ahkan mengangkat kedua tangan waktu berdo’a. Sebenarnya ini sama sekali tidak ada larangan dalam agama, malah sebaliknya ada hadits bahwa Rasulallah saw. mengangkat tangan waktu berdo’a. Begitupun juga ulama-ulama pakar dari berbagai madzhab (Hanafi, Maliki , Syafi’i dan lain sebagainya) selalu mengangkat tangan waktu berdo’a, karena hal ini termasuk adab atau tata tertib cara berdo’a kepada Allah swt.
Dalam kitab Riyaadus Shalihin jilid 2 terjemahan bahasa Indonesia oleh Almarhum H.Salim Bahreisj cetakan keempat tahun 1978 meriwayatkan sebuah hadits :
Sa’ad bin Abi Waqqash ra.berkata: Kami bersama Rasulallah saw. keluar dari Makkah menuju ke Madinah, dan ketika kami telah mendekati Azwara, tiba-tiba Rasulallah saw. turun dari kendaraannya, kemudian mengangkat kedua tangan berdo’a sejenak lalu sujud lama sekali, kemudian bangun mengangkat kedua tangannya berdo’a, kemudian sujud kembali, diulanginya perbuatan itu tiga kali. Kemudian berkata: ‘Sesungguhnya saya minta kepada Tuhan supaya di-izinkan memberikan syafa’at (bantuan) bagi ummat ku, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku, kemudian saya mengangkat kepala dan minta pula kepada Tuhan dan diperkenankan untuk sepertiga, maka saya sujud syukur kepada Tuhan, kemudian saya mengangkat kepala berdo’a minta untuk ummatku, maka diterima oleh Tuhan, maka saya sujud syukur kepada Tuhanku’. (HR.Abu Dawud).
Dalam hadits ini menerangkan bahwa Rasulallah saw. tiga kali berdo’a sambil mengangkat tangannya setiap berdo’a, dengan demikian berdo’a sambil mengangkat tangan adalah termasuk sunnah Rasulallah saw..
Dalam Kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq (bahasa Indonesia) buku yang sering diandalkan juga oleh golongan pengingkar jilid 4 cetakan pertama tahun 1978 halaman 274-275 diterbitkan oleh PT Alma’arif, Bandung Indonesia, dihalaman ini ditulis sebagai berikut :
Berdasarkan riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas ra., katanya :
“Jika kamu meminta (berdo’a kepada Allah swt.) hendaklah dengan mengangkat kedua tanganmu setentang kedua bahumu atau kira-kira setentangnya, dan jika istiqhfar (mohon ampunan) ialah dengan menunjuk dengan sebuah jari, dan jika berdo’a dengan melepas semua jari-jemari tangan”.
Malah dalam hadits ini, kita diberi tahu sampai dimana batas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a, dan waktu mengangkat tangan tersebut disunnahkan dengan menunjuk sebuah jari waktu mohon ampunan, melepas semua jari-jari tangan (membuka telapak tangannya) waktu berdo’a selain istiqfar.
Diriwayatkan dari Malik bin Yasar bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Jika kamu meminta Allah, maka mintalah dengan bagian dalam telapak tanganmu, jangan dengan punggungnya !” Sedang dari Salman, sabda Nabi saw : “Sesungguhnya Tuhanmu yang Mahaberkah dan Mahatinggi adalah Mahahidup lagi Mahamurah, ia merasa malu terhadap hamba-Nya jika ia menadahkan tangan (untuk berdo’a) kepada-Nya, akan menolaknya dengan tangan hampa”.
Lihat hadits ini Allah swt. tidak akan menolak do’a hamba-Nya waktu berdo’a sambil menadahkan tangan kepadaNya, dengan demikian do’a kita akan lebih besar harapan dikabulkan oleh-Nya!
Sedangkan hadits yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Anas bin Malik ra. menuturkan :
“Aku pernah melihat Rasulallah saw. mengangkat dua tangan keatas saat berdo’a sehingga tampak warna keputih-putihan pada ketiak beliau”.
Masih ada hadits yang beredar mengenai mengangkat tangan waktu berdo’a. Dengan hadits-hadits diatas ini, cukup buat kita sebagai dalil atas sunnahnya mengangkat tangan waktu berdo’a kepada Allah swt. Bagi saudaraku muslim yang tidak mau angkat tangan waktu berdo’a, silahkan, tapi janganlah mencela atau membid’ahkan saudara muslim lainnya yang mengangkat tangan waktu berdo’a !. Karena mengangkat tangan waktu berdo’a adalah sebagai adab atau sopan santun cara berdo’a kepada Allah swt. dan hal ini diamalkan oleh para salaf dan para ulama pakar (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Imam Ahmad –radhiyallahu ‘anhum– dan para imam lainnya).
Janganlah kita cepat membid’ahkan sesuatu amalan karena membaca satu hadits dan mengenyampingkan hadits lainnya. Semuanya ini amalan-amalan sunnah, siapa yang mengamalkan tersebut akan dapat pahala, dan yang tidak mengamalkan hal tersebut juga tidak berdosa. Karena membid’ahkan sesat sama saja mengharamkan amalan tersebut.
Menyebut nama Rasulallah saw. dengan awalan kata sayyidina atau maulana
Sebagian orang membid’ahkan panggilan Sayyidinaa atau Maulana didepan nama Muhammad Rasulallah saw., dengan alasan bahwa Rasulallah saw. sendiri yang menganjurkan kepada kita tanpa mengagung-agungkan dimuka nama beliau saw. Memang golongan ini mudah sekali membid’ahkan sesuatu amalan tanpa melihat motif makna yang dimaksud Bid’ah itu apa. Mari kita rujuk ayat-ayat Ilahi dan hadits-hadits Rasulallah saw. yang berkaitan dengan kata-kata sayyid.
Syeikh Muhammad Sulaiman Faraj dalam risalahnya yang berjudul panjang yaitu Dala’ilul-Mahabbah Wa Ta’dzimul-Maqam Fis-Shalati Was-Salam ‘AN Sayyidil-Anam dengan tegas mengatakan: Menyebut nama Rasulallah saw. dengan tambahan kata Sayyidina (junjungan kita) didepannya merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw. Sebab kata tersebut menunjukkan kemuliaan martabat dan ketinggian kedudukan beliau. Allah swt.memerintahkan ummat Islam supaya menjunjung tinggi martabat Rasulallah saw., menghormati dan memuliakan beliau, bahkan melarang kita memanggil atau menyebut nama beliau dengan cara sebagaimana kita menyebut nama orang diantara sesama kita. Larangan tersebut tidak berarti lain kecuali untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan Rasulallah saw. Allah swt.berfirman :
“Janganlah kalian memanggil Rasul (Muhammad) seperti kalian memanggil sesama orang diantara kalian”. (S.An-Nur : 63).
Dalam tafsirnya mengenai ayat diatas ini Ash-Shawi mengatakan: Makna ayat itu ialah janganlah kalian memanggil atau menyebut nama Rasulallah saw. cukup dengan nama beliau saja, seperti Hai Muhammad atau cukup dengan nama julukannya saja Hai Abul Qasim. Hendaklah kalian menyebut namanya atau memanggilnya dengan penuh hormat, dengan menyebut kemuliaan dan keagungannya. Demikianlah yang dimaksud oleh ayat tersebut diatas. Jadi, tidak patut bagi kita menyebut nama beliau saw.tanpa menunjukkan penghormatan dan pemuliaan kita kepada beliau saw., baik dikala beliau masih hidup didunia maupun setelah beliau kembali keharibaan Allah swt. Yang sudah jelas ialah bahwa orang yang tidak mengindahkan ayat tersebut berarti tidak mengindahkan larangan Allah dalam Al-Qur’an. Sikap demikian bukanlah sikap orang beriman.
Menurut Ibnu Jarir, dalam menafsirkan ayat tersebut Qatadah mengatakan : Dengan ayat itu (An-Nur:63) Allah memerintahkan ummat Islam supaya memuliakan dan mengagungkan Rasulallah saw.
Dalam kitab Al-Iklil Fi Istinbathit-Tanzil Imam Suyuthi mengatakan: Dengan turunnya ayat tersebut Allah melarang ummat Islam menyebut beliau saw. atau memanggil beliau hanya dengan namanya, tetapi harus menyebut atau memanggil beliau dengan Ya Rasulallah atau Ya Nabiyullah. Menurut kenyataan sebutan atau panggilan demikian itu tetap berlaku, kendati beliau telah wafat.
Dalam kitab Fathul-Bari syarh Shahihil Bukhori juga terdapat penegasan seperti tersebut diatas, dengan tambahan keterangan sebuah riwayat berasal dari Ibnu ‘Abbas ra. yang diriwayatkan oleh Ad-Dhahhak, bahwa sebelum ayat tersebut turun kaum Muslimin memanggil Rasulallah saw. hanya dengan Hai Muhammad, Hai Ahmad, Hai Abul-Qasim dan lain sebagainya. Dengan menurunkan ayat itu Allah swt. melarang mereka menyebut atau memanggil Rasulallah saw. dengan ucapan-ucapan tadi. Mereka kemudian menggantinya dengan kata-kata : Ya Rasulallah, dan Ya Nabiyullah.
Hampir seluruh ulama Islam dan para ahli Fiqih berbagai madzhab mempunyai pendapat yang sama mengenai soal tersebut, yaitu bahwa mereka semuanya melarang orang menggunakan sebutan atau panggilan sebagaimana yang dilakukan orang sebelum ayat tersebut diatas turun.
Didalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan makna tersebut diatas. Antara lain firman Allah swt. dalam surat Al-A’raf : 157 ; Al-Fath : 8-9, Al-Insyirah : 4 dan lain sebagainya. Dalam ayat-ayat ini Allah swt. memuji kaum muslimin yang bersikap hormat dan memuliakan Rasulallah saw., bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang yang beruntung. Juga firman Allah swt. mengajarkan kepada kita tatakrama yang mana dalam firman-Nya tidak pernah memanggil atau menyebut Rasul-Nya dengan kalimat Hai Muhammad, tetapi memanggil beliau dengan kalimat Hai Rasul atau Hai Nabi.
Firman-firman Allah swt. tersebut cukup gamblang dan jelas membuktikan bahwa Allah swt. mengangkat dan menjunjung Rasul-Nya sedemikian tinggi, hingga layak disebut sayyidina atau junjungan kita Muhammad Rasulallah saw. Menyebut nama beliau saw. tanpa diawali dengan kata yang menunjuk- kan penghormatan, seperti sayyidina tidak sesuai dengan pengagungan yang selayaknya kepada kedudukan dan martabat beliau.
Dalam surat Aali-‘Imran:39 Allah swt. menyebut Nabi Yahya as. dengan predikat sayyid :
“…Allah memberi kabar gembira kepadamu (Hai Zakariya) akan kelahiran seorang puteramu, Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang dari) Allah, seorang sayyid (terkemuka, panutan), (sanggup) menahan diri (dari hawa nafsu) dan Nabi dari keturunan orang-orang sholeh”.
Para penghuni neraka pun menyebut orang-orang yang menjerumuskan mereka dengan istilah saadat (jamak dari kata sayyid), yang berarti para pemimpin. Penyesalan mereka dilukiskan Allah swt.dalam firman-Nya :
“Dan mereka (penghuni neraka) berkata : ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati para pemimpin (sadatanaa) dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar”. (S.Al-Ahzab:67).
Juga seorang suami dapat disebut dengan kata sayyid, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah swt. dalam surat Yusuf : 25 :
“Wanita itu menarik qamis (baju) Yusuf dari belakang hingga koyak, kemudian kedua-duanya memergoki sayyid (suami) wanita itu didepan pintu”. Dalam kisah ini yang dimaksud suami ialah raja Mesir.
Demikian juga kata Maula yang berarti pengasuh, penguasa, penolong dan lain sebagainya. Banyak terdapat didalam Al-Qur’anul-Karim kata-kata ini, antara lain dalam surat Ad-Dukhan: 41 Allah berfirman :
“…Hari (kiamat) dimana seorang maula (pelindung) tidak dapat memberi manfaat apa pun kepada maula (yang dilindunginya) dan mereka tidak akan tertolong”.
Juga dalam firman Allah swt. dalam Al-Maidah : 55 disebutkan juga kalimat Maula untuk Allah swt., Rasul dan orang yang beriman.
Jadi kalau kata sayyid itu dapat digunakan untuk menyebut Nabi Yahya putera Zakariya, dapat digunakan untuk menyebut raja Mesir, bahkan dapat juga digunakan untuk menyebut pemimpin yang semuanya itu menunjuk kan kedudukan seseorangalasan apa yang dapat digunakan untuk menolak sebutan sayyid bagi junjungan kita Nabi Muhammad saw. Demikian pula soal penggunaan kata maula . Apakah bid’ah jika seorang menyebut nama seorang Nabi yang diimani dan dicintainya dengan awalan sayyidina atau maulana ?!
Mengapa orang yang menyebut nama seorang pejabat tinggi pemerintahan, kepada para president, para raja atau menteri, atau kepada diri seseorang dengan awalan ‘Yang Mulia’ tidak dituduh berbuat bid’ah ? Tidak salah kalau ada orang yang mengatakan, bahwa sikap menolak penggunaan kata sayyid atau maula untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw. itu sesungguhnya dari pikiran meremehkan kedudukan dan martabat beliau saw. Atau sekurang-kurang hendak menyamakan kedudukan dan martabat beliau saw. dengan manusia awam/biasa.
Sebagaimana kita ketahui, dewasa ini masih banyak orang yang menyebut nama Rasulallah saw. tanpa diawali dengan kata sayyidina dan tanpa dilanjutkan dengan kalimat sallahu ‘alaihi wasallam (saw). Menyebut nama Rasulallah dengan cara demikian menunjukkan sikap tak kenal hormat pada diri orang yang bersangkutan. Cara demikian itu lazim dilakukan oleh orang-orang diluar Islam, seperti kaum orientalis barat dan lain sebagainya. Sikap kaum orientalis ini tidak boleh kita tiru.
Banyak hadits-hadits shohih yang menggunakan kata sayyid, beberapa diantaranya ialah :
“Setiap anak Adam adalah sayyid. Seorang suami adalah sayyid bagi isterinya dan seorang isteri adalah sayyidah bagi keluarganya (rumah tangga nya)”. (HR Bukhori dan Adz-Dzahabi).
Jadi kalau setiap anak Adam saja dapat disebut sayyid, apakah anak Adam yang paling tinggi martabatnya dan paling mulia kedudukannya disisi Allah yaitu junjungan kita Nabi Muhammad saw. tidak boleh disebut sayyid ?
Didalam shohih Muslim terdapat sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah saw. memberitahu para sahabatnya, bahwa pada hari kiamat kelak Allah swt. akan menggugat hamba-hambaNya : “Bukankah engkau telah Ku-muliakan dan Ku-jadikan sayyid ?” (alam ukrimuka wa usawwiduka?)
Makna hadits itu ialah, bahwa Allah swt. telah memberikan kemuliaan dan kedudukan tinggi kepada setiap manusia. Kalau setiap manusia dikarunia kemuliaan dan kedudukan tinggi, apakah manusia pilihan Allah yang diutus sebagai Nabi dan Rasul tidak jauh lebih mulia dan lebih tinggi kedudukan dan martabatnya daripada manusia lainnya ? Kalau manusia-manusia biasa saja dapat disebut sayyid , mengapa Rasulallah saw. tidak boleh disebut sayyid atau maula ?
Dalil-dalil orang yang membantah dan jawabannya
– Ada sementara orang terkelabui oleh pengarang hadits palsu yang berbunyi: “Laa tusayyiduunii fis-shalah” artinya “Jangan menyebutku (Nabi Muhammad saw) sayyid didalam sholat”. Tampaknya pengarang hadits palsu yang mengatas namakan Rasulallah saw. untuk mempertahankan pendiriannya itu lupa atau memang tidak mengerti bahwa didalam bahasa Arab tidak pernah terdapat kata kerja tusayyidu. Tidak ada kemungkinan sama sekali Rasulallah saw.mengucapkan kata-kata dengan bahasa Arab gadungan seperti yang dilukiskan oleh pengarang hadits palsu tersebut. Dilihat dari segi bahasanya saja, hadits itu tampak jelas kepalsuannya. Namun untuk lebih kuat membuktikan kepalsuan hadits tersebut baiklah kami kemukakan beberapa pendapat yang dinyatakan oleh para ulama.
Dalam kitab Al-Hawi , atas pertanyaan mengenai hadits tersebut Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjawab tegas : “Tidak pernah ada (hadits tersebut), itu bathil !”.
Imam Al-Hafidz As-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul-Al-Hasanah menegaskan : “ Hadits itu tidak karuan sumbernya ! “
Imam Jalaluddin Al-Muhli, Imam As-Syamsur-Ramli, Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami, Imam Al-Qari, para ahli Fiqih madzhab Sayfi’i dan madzhab Maliki dan lain-lainnya, semuanya mengatakan : “Hadits itu sama sekali tidak benar”.
– Selain hadits palsu diatas tersebut, masih ada hadits palsu lainnya yang semakna, yaitu yang berbunyi : “La tu’adzdzimuunii fil-masjid” artinya ; “Jangan mengagungkan aku (Nabi Muhammad saw.) di masjid”.
Dalam kitab Kasyful Khufa Imam Al-Hafidz Al-‘Ajluni dengan tegas mengata- kan: “Itu bathil !”. Demikian pula Imam As-Sakhawi dalam kitab Maulid-nya yang berjudul Kanzul-‘Ifah menyatakan tentang hadits ini: “Kebohongan yang diada-adakan”.
Memang masuk akal kalau ada orang yang berkata seperti itu yakni jangan mengagungkan aku di masjid kepada para hadirin didalam masjid, sebab ucapannya itu merupakan tawadhu’ (rendah hati). Akan tetapi kalau dikatakan bahwa perkataan tersebut diucapkan oleh Rasulallah saw. atau sebagai hadits beliau saw., jelas hal itu suatu pemalsuan yang terlampau berani.
Mari kita lanjutkan tentang hadits-hadits yang menggunakan kata sayyid berikut ini:
– Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dalam Shohihnya bahwa Rasulallah saw.bersabda : “Aku sayyid anak Adam…” . Jelaslah bahwa kata sayyid dalam hal ini berarti pemimpin ummat, orang yang paling terhormat dan paling mulia dan paling sempurna dalam segala hal sehingga dapat menjadi panutan serta teladan bagi ummat yang dipimpinnya.
Ibnu ‘Abbas ra mengatakan, bahwa makna sayyid dalam hadits tersebut ialah orang yang paling mulia disisi Allah. Qatadah ra. mengatakan, bahwa Rasulallah saw. adalah seorang sayyid yang tidak pernah dapat dikalahkan oleh amarahnya.
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Majah dan At-Turmudzi, Rasulallah saw. bersabda :
“Aku adalah sayyid anak Adam pada hari kiamat”. Surmber riwayat lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhori dan Imam Muslim, mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid semua manusia pada hari kiamat”.
Hadit tersebut diberi makna oleh Rasulallah saw. sendiri dengan penjelas- annya: ‘Pada hari kiamat, Adam dan para Nabi keturunannya berada dibawah panjiku”.
Sumber riwayat lain mengatakan lebih tegas lagi, yaitu bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid dua alam”.
– Riwayat yang berasal dari Abu Nu’aim sebagaimana tercantum didalam kitab Dala’ilun-Nubuwwah mengatakan bahwa Rasulallah saw. bersabda : “Aku sayyid kaum Mu’minin pada saat mereka dibangkitkan kembali (pada hari kiamat)”.
– Hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Khatib mengatakan, bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Aku Imam kaum muslimin dan sayyid kaum yang bertaqwa”.
– Sebuah hadits yang dengan terang mengisyaratkan keharusan menyebut nama Rasulallah saw. diawali dengan kata sayyidina diketengahkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak. Hadits yang mempunyai isnad shohih ini berasal dari Jabir bin ‘Abdullah ra. yang mengatakan sebagai berikut:
“Pada suatu hari kulihat Rasulallah saw. naik keatas mimbar. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah saw. beliau bertanya : ‘Siapakah aku ini ?’ Kami menyahut: Rasulallah ! Beliau bertanya lagi: ‘Ya, benar, tetapi siapakah aku ini ?’. Kami menjawab : Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul-Mutthalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf ! Beliau kemudian menyatakan : ‘Aku sayyid anak Adam….’.”
Riwayat hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa Rasulallah saw. lebih suka kalau para sahabatnya menyebut nama beliau dengan kata sayyid. Dengan kata sayyid itu menunjukkan perbedaan kedudukan beliau dari kedudukan para Nabi dan Rasul terdahulu, bahkan dari semua manusia sejagat.
Semua hadits tersebut diatas menunjukkan dengan jelas, bahwa Rasulallah saw. adalah sayyid anak Adam, sayyid kaum muslimin, sayyid dua alam (al-‘alamain), sayyid kaum yang bertakwa. Tidak diragukan lagi bahwa menggunakan kata sayyidina untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw. merupakan suatu yang dianjurkan bagi setiap muslim yang mencintai beliau saw.
– Demikian pula soal kata Maula, Imam Ahmad bin Hanbal di dalam Musnad nya, Imam Turmduzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah mengetengahkan sebuah hadits, bahwa Rasulallah saw. bersabda :
“Man kuntu maulahu fa ‘aliyyun maulahu” artinya : “Barangsiapa aku menjadi maula-nya (pemimpinnya). ‘Ali (bin Abi Thalib) adalah maula-nya…”
– Dari hadits semuanya diatas tersebut kita pun mengetahui dengan jelas bahwa Rasulallah saw. adalah sayyidina dan maulana (pemimpin kita). Demikian juga para ahlu-baitnya (keluarganya), semua adalah sayyidina. Al-Bukhori meriwayatkan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata kepada puteri beliau, Siti Fathimah ra :
“Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’minin au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum mu’minin (kaum orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam shohih Muslim hadits tersebut berbunyi: “Yaa Fathimah amaa tardhiina an takuunii sayyidata nisaail mu’mininat au sayyidata nisaai hadzihil ummati” artinya : “Hai Fathimah, apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah mu’mininat (kaum wanitanya orang-orang yang beriman) atau sayyidah kaum wanita ummat ini ?”
– Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad, Rasulallah saw. berkata kepada puterinya (Siti Fathimah ra) :
“Amaa tardhiina an takuunii sayyidata sayyidata nisaa hadzihil ummati au nisaail ‘Alamina” artinya : “…Apakah engkau tidak puas menjadi sayyidah kaum wanita ummat ini, atau sayyidah kaum wanita sedunia ?”
Demikianlah pula halnya terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma. Imam Bukhori dan At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits yang berisnad shohih bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. bersabda : “Al-Hasanu wal Husainu sayyida asybaabi ahlil jannati” artinya : “Al-Hasan dan Al-Husain dua orang sayyid pemuda ahli surga”.
Berdasarkan hadits-hadits diatas itu kita menyebut puteri Rasulallah saw. Siti Fathimah Az-Zahra dengan kata awalan sayyidatuna. Demikianlah pula terhadap dua orang cucu Rasulallah saw. Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma.
– Ketika Sa’ad bin Mu’adz ra. diangkat oleh Rasulallah saw. sebagai penguasa kaum Yahudi Bani Quraidah (setelah mereka tunduk kepada kekuasaan kaum muslimin), Rasulallah saw. mengutus seorang memanggil Sa’ad supaya datang menghadap beliau. Sa’ad datang berkendaraan keledai, saat itu Rasulallah saw. berkata kepada orang-orang yang hadir: “Guumuu ilaa sayyidikum au ilaa khoirikum” artinya : “Berdirilah menghormati sayyid (pemimpin) kalian, atau orang terbaik diantara kalian”.
Rasulallah saw. menyuruh mereka berdiri bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk menolong Sa’ad turun dari keledainya, karena dalam keadaan sakit sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulallah saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad.
Sekalipun –misalnya– Rasulallah saw. melarang para sahabatnya berdiri menghormati beliau saw, tetapi beliau sendiri malah memerintahkan mereka supaya berdiri menghormati Sa’ad bin Mu’adz, apakah artinya ? Itulah tatakrama Islam. Kita harus dapat memahami apa yang dikehendaki oleh Rasulallah saw. dengan larangan dan perintahnya mengenai soal yang sama itu. Tidak ada ayah, ibu , kakak dan guru yang secara terang-terangan minta dihormati oleh anak, adik dan murid, akan tetapi si anak, si adik dan si murid harus merasa dirinya wajib menghormati ayahnya, ibunya, kakaknya dan gurunya. Demikian juga Rasulallah saw. sekalipun beliau menyadari kedudukan dan martabatnya yang sedemikian tinggi disisi Allah swt, beliau tidak menuntut supaya ummatnya memuliakan dan mengagung-agungkan beliau. Akan tetapi kita, ummat Rasulallah saw., harus merasa wajib menghormati, memuliakan dan mengagungkan beliau saw.
Allah swt. berfirman dalam Al-Ahzab: 6 : “Bagi orang-orang yang beriman, Nabi (Muhammad saw.) lebih utama daripada diri mereka sendiri, dan para isterinya adalah ibu-ibu mereka”.
Ibnu ‘Abbas ra. menyatakan: Beliau adalah ayah mereka’ yakni ayah semua orang beiman! Ayat suci diatas ini jelas maknanya, tidak memerlukan penjelasan apa pun juga, bahwa Rasulallah saw. lebih utama dari semua orang beriman dan para isteri beliau wajib dipandang sebagai ibu-ibu seluruh ummat Islam ! Apakah setelah keterangan semua diatas ini orang yang menyebut nama beliau dengan tambahan kata awalan sayyidina atau maulana pantas dituduh berbuat bid’ah? Semoga Allah swt. memberi hidayah kepada kita semua. Amin
– Ibnu Mas’ud ra. mengatakan kepada orang-orang yang menuntut ilmu kepadanya: “Apabila kalian mengucapkan shalawat Nabi hendaklah kalian mengucapkan shalawat dengan sebaik-baiknya. Kalian tidak tahu bahwa sholawat itu akan disampaikan kepada beliau saw., karena itu ucapkanlah : ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada Sayyidul-Mursalin (pemimpin para Nabi dan Rasulallah) dan Imamul-Muttaqin (Panutan orang-orang bertakwa)”
– Para sahabat Nabi juga menggunakan kata sayyid untuk saling menyebut nama masing-masing, sebagai tanda saling hormat-menghormati dan harga-menghargai. Didalam Al-Mustadrak Al-Hakim mengetengahkan sebuah hadits dengan isnad shohih, bahwa “Abu Hurairah ra. dalam menjawab ucapan salam Al-Hasan bin ‘Ali ra. selalu mengatakan “Alaikassalam ya sayyidi”. Atas pertanyaan seorang sahabat ia menjawab: ‘Aku mendengar sendiri Rasulallah saw. menyebutnya (Al-Hasan ra.) sayyid’ “.
– Ibnu ‘Athaillah dalam bukunya Miftahul-Falah mengenai pembicaraannya soal sholawat Nabi mewanti-wanti pembacanya sebagai berikut: “Hendak- nya anda berhati-hati jangan sampai meninggalkan lafadz sayyidina dalam bersholawat, karena didalam lafadz itu terdapat rahasia yang tampak jelas bagi orang yang selalu mengamalkannya”. Dan masih banyak lagi wejangan para ulama pakar cara sebaik-baiknya membaca sholawat pada Rasulallah saw. yang tidak tercantum disini.
Nah, kiranya cukuplah sudah uraian diatas mengenai penggunaan kata sayyidina atau maulana untuk mengawali penyebutan nama Rasulallah saw.. Setelah orang mengetahui banyak hadits Nabi yang menerangkan persoalan itu yakni menggunakan kata awalan sayyid, apakah masih ada yang bersikeras tidak mau menggunakan kata sayyidina dalam menyebut nama beliau saw.?, dan apanya yang salah dalam hal ini ?
Apakah orang yang demikian itu hendak mengingkari martabat Rasulallah saw. sebagai Sayyidul-Mursalin (penghulu para Rasulallah) dan Habibu Rabbil-‘alamin (Kesayangan Allah Rabbul ‘alamin) ?
Bagaimana tercelanya orang yang berani membid’ahkan penyebutan sayyidina atau maulana dimuka nama beliau saw.? Yang lebih aneh lagi sekarang banyak diantara golongan pengingkar ini sendiri yang memanggil nama satu sama lain diawali dengan sayyid atau minta juga agar mereka dipanggil sayyid dimuka nama mereka !
Penggunaan Tasbih bukanlah bid’ah sesat.
Sering yang kita dengar dari golongan muslimin diantaranya dari madzhab Wahabi/Salafi dan pengikutnya yang melarang orang menggunakan Tasbih waktu berdzikir. Sudah tentu sebagaimana kebiasaan golongan ini alasan mereka melarang dan sampai-sampai berani membid’ahkan sesat karena menurut paham mereka bahwa Rasulallah saw. para sahabat tidak ada yang menggunakan tasbih waktu berdzikir !
‘Tasbih’ atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan nama ‘Subhah’ adalah butiran-butiran yang dirangkai untuk menghitung jumlah banyaknya dzikir yang diucapkan oleh seseorang, dengan lidah atau dengan hati. Dalam bahasa Sanskerta kuno, tasbih disebut dengan nama Jibmala yang berarti hitungan dzikir.
Orang berbeda pendapat mengenai asal-usul penggunaan tasbih. Ada yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari orang Arab, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa tasbih berasal dari India yaitu dari kebiasaan orang-orang Hindu. Ada pula orang yang mengatakan bahwa pada mulanya kebiasaan memakai tasbih dilakukan oleh kaum Brahmana di India. Setelah Budhisme lahir, para biksu Budha menggunakan tasbih menurut hitungan Wisnuisme, yaitu 108 butir. Ketika Budhisme menyebar keberbagai negeri, para rahib Nasrani juga menggunakan tasbih, meniru biksu-biksu Budha. Semuanya ini terjadi pada zaman sebelum islam.
Kemudian datanglah Islam, suatu agama yang memerintahkan para pemeluk nya untuk berdzikir (ingat) juga kepada Allah swt. sebagai salah satu bentuk peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.. Perintah dzikir bersifat umum, tanpa pembatasan jumlah tertentu dan tidak terikat juga oleh keadaan-keadaan tertentu. Banyak sekali firman Allah swt. dalam Al-Qur’an agar orang banyak berdzikir dalam setiap keadaan atau situasi, umpama berdzikir sambil berdiri, duduk, berbaring dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan itu terdapat banyak hadits yang menganjurkan jumlah dan waktu berdzikir, misalnya seusai sholat fardhu yaitu tiga puluh tiga kali dengan ucapan Subhanallah, tiga puluh tiga kali Alhamdulillah dan tiga puluh tiga kali Allahu Akbar, kemudian dilengkapi menjadi seratus dengan ucapan kalimat tauhid ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu….’. Kecuali itu terdapat pula hadits-hadits lain yang menerangkan keutamaan berbagai ucapan dzikir bila disebut sepuluh atau seratus kali. Dengan adanya hadits-hadits yang menetapkan jumlah dzikir seperti itu maka dengan sendirinya orang yang berdzikir perlu mengetahui jumlahnya yang pasti.
Hadits-hadits yang berkaitan dengan cara menghitung dzikir
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Al-Hakim berasal dari Ibnu Umar ra. yang mengatakan:
“Rasulallah saw. menghitung dzikirnya dengan jari-jari dan menyarankan para sahabatnya supaya mengikuti cara beliau saw.”. Para Imam ahli hadits tersebut juga meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Bisrah, seorang wanita dari kaum Muhajirin, yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. pernah berkata:
“Hendaklah kalian senantiasa bertasbih (berdzikir), bertahlil dan bertaqdis (yakni berdzikir dengan menyebut ke–Esa-an dan ke-Suci-an Allah swt.). Janganlah kalian sampai lupa hingga kalian akan melupakan tauhid. Hitunglah dzikir kalian dengan jari, karena jari-jari kelak akan ditanya oleh Allah dan akan diminta berbicara” .
Perhatikanlah: Anjuran menghitung dengan jari dalam hadits itu tidak berarti melarang orang menghitung dzikir dengan cara lain !!!. Untuk mengharamkan atau memunkarkan suatu amalan haruslah mendatangkan nash yang khusus tentang itu, tidak seenaknya sendiri saja!!
Imam Tirmidzi, Al-Hakim dan Thabarani meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Shofiyyah yang mengatakan: “Bahwa pada suatu saat Rasulallah saw. datang kerumahnya. Beliau melihat empat ribu butir biji kurma yang biasa digunakan oleh Shofiyyah untuk menghitung dzikir. Beliau saw. bertanya; ‘Hai binti Huyay, apakah itu ?‘ Shofiyyah menjawab ; ‘Itulah yang kupergunakan untuk menghitung dzikir’. Beliau saw. berkata lagi; ‘Sesungguhnya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu’. Shofiyyah menyahut; ‘Ya Rasulallah, ajarilah aku’. Rasulallah saw. kemudian berkata; ‘Sebutlah, Maha Suci Allah sebanyak ciptaan-Nya’ ”. (Hadits shohih).
Abu Dawud dan Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dinilai sebagai hadits hasan/baik oleh An-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim yaitu hadits yang berasal dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. yang mengatakan:
“Bahwa pada suatu hari Rasulallah saw. singgah dirumah seorang wanita. Beliau melihat banyak batu kerikil yang biasa dipergunakan oleh wanita itu untuk menghitung dzikir. Beliau bertanya; ‘Maukah engkau kuberitahu cara yang lebih mudah dari itu dan lebih afdhal/utama ?’ Sebut sajalah kalimat-kalimat sebagai berikut :
‘Subhanallahi ‘adada maa kholaga fis samaai, subhanallahi ‘adada maa kholaga fil ardhi, subhanallahi ‘adada maa baina dzaalika, Allahu akbaru mitslu dzaalika, wal hamdu lillahi mitslu dzaalika, wa laa ilaaha illallahu mitslu dzaalika wa laa guwwata illaa billahi mitslu dzaalika’ ”.
Yang artinya : ‘Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dilangit, Maha suci Allah sebanyak makhluk-Nya yang dibumi, Maha suci Allah sebanyak makhluk ciptaan-Nya. (sebutkan juga) Allah Maha Besar, seperti tadi, Puji syukur kepada Allah seperti tadi, Tidak ada Tuhan selain Allah, seperti tadi dan tidak ada kekuatan kecuali dari Allah, seperti tadi !’ “.
Lihat dua hadits diatas ini, Rasulallah saw. melihat Shofiyyah menggunakan biji kurma untuk menghitung dzikirnya, beliau saw. tidak melarangnya atau tidak mengatakan bahwa dia harus berdzikir dengan jari-jarinya, malah beliau saw. berkata kepadanya engkau dapat berdzikir lebih banyak dari itu !! Begitu juga beliau saw. tidak melarang seorang wanita lainnya yang menggunakan batu kerikil untuk menghitung dzikirnya dengan kata lain beliau saw. tidak mengatakan kepada wanita itu, buanglah batu kerikil itu dan hitunglah dzikirmu dengan jari-jarimu !
Beliau saw. malah mengajarkan kepada mereka berdua bacaan-bacaan yang lebih utama dan lebih mudah dibaca. Sedangkan berapa jumlah dzikir yang harus dibaca, tidak ditentukan oleh Rasulallah saw. jadi terserah kemampuan mereka.
Banyak riwayat bahwa para sahabat Nabi saw. dan kaum salaf yang sholeh pun menggunakan biji kurma, batu-batu kerikil, bundelan-bundelan benang dan lain sebagainya untuk menghitung dzikir yang dibaca. Ternyata tidak ada orang yang menyalahkan atau membid’ahkan sesat mereka !!
Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnadnya meriwayatkan bahwa seorang sahabat Nabi yang bernama Abu Shofiyyah menghitung dzikirnya dengan batu-batu kerikil. Riwayat ini dikemukakan juga oleh Imam Al-Baihaqi dalam Mu’jamus Shahabah; ”‘bahwa Abu Shofiyyah, maula Rasulallah saw. menghamparkan selembar kulit kemudian mengambil sebuah kantong berisi batu-batu kerikil, lalu duduk berdzikir hingga tengah hari. Setelah itu ia menyingkirkannya. Seusai sholat dhuhur ia mengambilnya lagi lalu berdzikir hingga sore hari “.
Abu Dawud meriwayatkan; ‘bahwa Abu Hurairah ra. mempunyai sebuah kantong berisi batu kerikil. Ia duduk bersimpuh diatas tempat tidurnya ditunggui oleh seorang hamba sahaya wanita berkulit hitam. Abu Hurairah berdzikir dan menghitungnya dengan batu-batu kerikil yang berada dalam kantong itu. Bila batu-batu itu habis dipergunakan, hamba sahayanya menyerahkan kembali batu-batu kerikil itu kepadanya’.
Abu Syaibah juga mengutip hadits ‘Ikrimah yang mengatakan; ‘bahwa Abu Hurairah mempunyai seutas benang dengan bundelan seribu buah. Ia baru tidur setelah berdzikir dua belas ribu kali’.
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya bab Zuhud mengemukakan; ‘bahwa Abu Darda ra. mempunyai sejumlah biji kurma yang disimpan dalam kantong. Usai sholat shubuh biji kurma itu dikeluarkan satu persatu untuk menghitung dzikir hingga habis’.
Abu Syaibah juga mengatakan; ‘bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash ra menghitung dzikirnya dengan batu kerikil atau biji kurma. Demikian pula Abu Sa’id Al-Khudri ’.
Dalam kitab Al-Manahil Al-Musalsalah Abdulbaqi mengetengahkan sebuah riwayat yang mengatakan; ‘bahwa Fathimah binti Al-Husain ra mempunyai benang yang banyak bundelannya untuk menghitung dzikir ’.
Dalam kitab Al-Kamil , Al-Mubarrad mengatakan; “bahwa ‘Ali bin ‘Abdullah bin ‘Abbas ra (wafat th 110 H) mempunyai lima ratus butir biji zaitun. Tiap hari ia menghitung raka’at-raka’at sholat sunnahnya dengan biji itu, sehingga banyak orang yang menyebut namanya dengan ‘Dzu Nafatsat’ “.
Abul Qasim At-Thabari dalam kitab Karamatul-Auliya mengatakan: ‘Banyak sekali orang-orang keramat yang menggunakan tasbih untuk menghitung dzikir, antara lain Syeikh Abu Muslim Al-Khaulani dan lain-lain’.
Menurut riwayat bentuk tasbih yang kita kenal pada zaman sekarang ini baru dipergunakan orang mulai abad ke 2 Hijriah. Ketika itu nama ‘tasbih’ belum digunanakan untuk menyebut alat penghitung dzikir. Hal itu diperkuat oleh Az-Zabidi yang mengutip keterangan dari gurunya didalam kitab Tajul-‘Arus . Sejak masa itu tasbih mulai banyak dipergunakan orang dimana-mana. Pada masa itu masih ada beberapa ulama yang memandang penggunaan tasbih untuk menghitung dzikir sebagai hal yang kurang baik. Oleh karena itu tidak aneh kalau ada orang yang pernah bertanya pada seorang Waliyullah yang bernama Al-Junaid: ‘Apakah orang semulia anda mau memegang tasbih ?. Al-Junaid menjawab: ‘Jalan yang mendekatkan diriku kepada Allah swt. tidak akan kutinggalkan’.(Ar-Risalah Al-Qusyariyyah).
Sejak abad ke 5 Hijriah penggunaan tasbih makin meluas dikalangan kaum muslimin, termasuk kaum wanitanya yang tekun beribadah. Tidak ada berita riwayat, baik yang berasal dari kaum Salaf maupun dari kaum Khalaf (generasi muslimin berikutnya) yang menyebutkan adanya larangan penggunaan tasbih, dan tidak ada pula yang memandang penggunaan tasbih sebagai perbuatan munkar!!
Pada zaman kita sekarang ini bentuk tasbih terdiri dari seratus buah butiran atau tiga puluh tiga butir, sesuai dengan jumlah banyaknya dzikir yang disebut-sebut dalam hadits-hadits shohih. Bentuk tasbih ini malah lebih praktis dan mudah dibandingkan pada masa zaman nya Rasulallah saw. dan masa sebelum abad kedua Hijriah. Begitu juga untuk menghitung jumlah dzikir agama Islam tidak menetapkan cara tertentu. Hal itu diserahkan kepada masing-masing orang yang berdzikir.
Cara apa saja untuk menghitung bacaan dzikir itu asalkan bacaan dan alat menghitung yang tidak yang dilarang menurut Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw.. itu mustahab/baik untuk diamalkan. Berdasarkan riwayat-riwayat hadits yang telah dikemukakan diatas jelaslah, bahwa menghitung dzikir bukan dengan jari adalah sah/boleh. Begitu juga benda apa pun yang digunakan sebagai tasbih untuk menghitung dzikir, tidak bisa lain, orang tetap menggunakan tangan atau jarinya juga, bukan menggunakan kakinya!! Dengan demikian jari-jari ini juga digunakan untuk kebaikan !! Malah sekarang banyak kita para ulama pakar maupun kaum muslimin lainnya sering menggunakan tasbih bila berdzikir.
Jadi masalah menghitung dengan butiran-butiran tasbih sesungguhnya tidak perlu dipersoalkan, apalagi kalau ada orang yang menganggapnya sebagai ‘bid’ah dholalah’. Yang perlu kita ketahui ialah : Manakah yang lebih baik, menghitung dzikir dengan jari tanpa menggunakan tasbih ataukah dengan menggunakan tasbih ?
Menurut Ibnu ‘Umar ra. menghitung dzikir dengan jari (daripada dengan batu kerikil, biji kurma dll) lebih afdhal/utama. Akan tetapi Ibnu ‘Umar juga mengatakan jika orang yang berdzikir tidak akan salah hitung dengan menggunakan jari, itulah yang afdhal. Jika tidak demikian maka mengguna- kan tasbih lebih afdhal.
Perlu juga diketahui, bahwa menghitung dzikir dengan tasbih disunnahkan menggunakan tangan kanan, yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Salaf. Hal itu disebut dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lain-lain. Dalam soal dzikir yang paling penting dan wajib diperhatikan baik-baik ialah kekhusyu’an, apa yang diucapkan dengan lisan juga dalam hati mengikutinya. Maksudnya bila lisan mengucapkan Subhanallah maka dalam hati juga memantapkan kata-kata yang sama yaitu Subhanallah. Allah swt. melihat apa yang ada didalam hati orang yang berdzikir, bukan melihat kepada benda (tasbih) yang digunakan untuk menghitung dzikir!! Wallahu a’lam.
Insya Allah dengan keterangan singkat ini, para pembaca bisa menilai sendiri apakah benar yang dikatakan golongan pengingkar bahwa penggunaan Tasbih adalah munkar, bid’ah dholalah/sesat dn lain sebagainya ??? Semoga Allah swt. memberi hidayah kepada semua kaum muslimin. Amin.
Semoga dengan keterangan sebelumnya mengenai akidah golongan Wahabi/Salafi serta pengikutnya dan keterangan bid’ah yang singkat ini insya-Allah bisa membuka hati kita masing-masing agar tidak mudah mensesatkan, mengkafirkan dan sebagainya pada saudara muslim kita sendiri yang sedang melakukan ritual-ritual Islam begitu juga yang berlainan madzhab dengan madzhab kita.
Langganan:
Postingan (Atom)